Jumat, 08 Mei 2009

Kesurupan Anthurium

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah TRUBUS EDISI OKT. 2007)

SUNGGUH edan anthurium. Sepanjang ‘karier’ saya sebagai pecinta tanaman hias, mungkin baru sekali ini ada tanaman hias daun berharga aduhai. Saat tulisan ini dibuat, misalnya, harga selembar daun Anthurium Kobra selebar piring makan dikabarkan sudah dihitung Rp. 15jt per daun. Kalau gosip itu benar, maka patah sudah rekor yang dipatok Aglaonema Harlequeen yang sebelumnya pernah dinilai Rp. 11 juta per daun dan sempat menjadi berita heboh di SMS pada zamannya.

Gejala aneh itu sebetulnya sudah mulai terendus sejak Mei tahun ini, ketika tanpa diduga, pamor Anthurium tiba-tiba mencorong lagi. Padahal, pamor itu sudah meredup, sejak akhir tahun lalu, saat kita sibuk menghadapi Hari Idul Fitri dan kesibukan anak sekolah dan tutup tahun.

Yang menarik, demam puber kedua ini tampaknya jauh lebih dahsyat. Sejak Mei hingga awal Juli saja, perburuan Anthurium hampir terjadi setiap hari secara intensif. Ditaksir ratusan anthurium jenmanii telah eksodus dari Jabodetabek ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan dalam kurun yang sama pula, harga anthurium indukan meroket pesat tak terkendali. Naik dari hanya Rp. 5 jt di awal Mei menjadi Rp. 25 jt. per pohon sampai catatan ini ditulis di pertengahan Juli.

Dan sampai catatan ini ditulis, di wilayah Jabodetabek, Medan, dan sebagian kota di Jawa Barat, --yang selama ini dikenal sebagai sentra-sentra anthurium-- sudah mulai sulit ditemukan lagi anthurium-anthurium jenis indukan, akibat demand dan supply yang tak seimbang. Kalau pun ada, harga sudah di luar common sense.

Tak kurang dari Dr. Purbo yang notabene dikenal sebagai pemain aglaonema menasehati agar kita menahan diri di tengah situasi anomali ini. Dia menyebut fenomena tanaman daun yang warnanya kebanyakan hijau melulu itu saat ini sebagai fenomena irasional alias tidak waras.

Dalam saat yang sama, jalur perdagangan tradisional tanaman ini juga ikut-ikutan bergeser. Anggapan lama bahwa anthurium kelas indukan biasanya ‘diangkut’ dari Barat ke Timur, ternyata tidak berlaku lagi. Karena nyatanya banyak juga anthurium besar-besar juga mulai ‘diangkut’ dari Timur ke Barat. Demikian juga jalur bisnis tradisional anthurium anakan atau bibitan ikut bergeser. Para pemburu anthurium di daerah-daerah di Jawa –utamanya Solo, Karangpadan dan sekitarnya-- yang dikenal luas sebagai pemasok anthurium jenis bibitan, nyatanya belakangan juga mulai mengambil dari dari sejawatnya yang tinggal di wilayah Barat.

Sentra-sentra anthurium pun ikut berubah. Dulu Solo dan sekitarnya suka disebut “ibukota” Anthurium, tapi saat ini sudah banyak kota-kota lain yang ingin memiliki ‘otonomi khusus’, sebutlah sejumlah kota kecil di Jawa Tengah bagian Barat dan Utara, atau sejumlah kota di Jawa Timur. Sang primadona juga bukan lagi Jenmanii yang sudah tidak terjangkau harga dan barangnya.

Kini ada incaran baru: yaitu Hookeri, Garuda atau Wave of Love yang secara taxotomis juga menyimpan banyak bentuk dan tampilan daun aneh.

Fenomena lain yang tak kalah seru, adalah soal banyaknya jenis-jenis atau nama-nama baru anthurium. Saya pernah menulis di sebuah website, bahwa anthurium jenis jenmanii dewasa ini sudah ada ratusan nama. Jenmanii tidak cuma dikenal dengan nama Centhong, Jati, Sawi atau Golok. Yang Sawi saja sudah dibedakan lagi dengan Sawi Ijo, Sawi Caisim, dan Sawi Bakso. Tak terhitung lagi nama-nama baru untuk anthurium-anthurium jenis hibrida atau hasil silangan.

Silangan Jenmanii dengan Wave of Love disebut Jenwave, sedang silangan Jenmanii dengan Keris disebut Jeker. Ada pula nama-nama baru seperti Anthurium Jenmanii Supernova, Inova, Pluto atau Superboy. Seorang teman terkekeh-kekeh, “Jangan-jangan Jenmani Superboy itu kalau gede dan jadi indukan nantinya diberi nama Anthurium Superman,” katanya. Belakangan saya juga diberitahu ada Anthurium Tulang Ikan, Api PON (Pekan Olahraga Nasional), Sunita, Ratu Sirikit dan Big Mama.

Alhasil, nama-nama Anthurium kini memang seperti pasar malam. Hobiis, kolektor, penulis buku, pedagang, trader atau brooker juga bisa jadi pesulap. Anthurium Raffles bisa jadi Bird’s Nest. Kalau memang mirip, dengan senang hati diberi nama Anthurium Kobra KW1, Anthurium King Kobra, Anthurium Green Kobra, atau Anthurium Super Kobra. Pendeknya, lain ladang lain ikannya, lain pemilik lain namanya.

Kalangan end user ikut latah. Banyak hobiis yang tadinya sudah memiliki Black Beauty penasaran kepengin memiliki Black Velvet atau Black Burgundi. Yang tadinya punya Anthurium Naga, penasaran memiliki Anthurium Kulit Naga dan Perut Naga. Yang punya Anthurium Naga saja masih penasaran mencari Anthurium Dragon yang konon bukan terjemahan Naga.

Pantas orang-orang Thailand bengong. Mereka rupanya memang tidak siap melihat akselarasi anthurium yang sedang terjadi di Indonesia. Secara terus terang mereka mengaku dalam soal tanaman satu ini mereka merasa harus belajar banyak pada kita. Seorang penangkar di pinggiran Thailand yang selama ini getol memasok aglaonema menyebut negara kita sebagai negara seribu anthurium. Nyatanya hasil fabrikan mereka, berupa anthurium Hookeri Merah (atau yang biasa disebut di sini dengan sebutan Hokmer), Hookeri Hijau atau yang biasa disebut di sini dengan sebutan keren Green Hookeri atau anthurium Reinasong juga laris manis.

Waktu pertama kali masuk tahun lalu, harga Hokmer ‘bikinan’ Thailand cuma laku Rp. 60rb per pohon dan Hookeri Hijau setinggi 30 cm cuma laku Rp. 20rb per pohon. Itu pun diolok-olok. Tapi kini para juragan di Bangkok bisa petentengan. Mereka pasang harga seenaknya, dan kita mau juga membelinya dengan harga Rp. 350rb per pohon.

Jangankan orang di negara gajah putih, orang kita saja bingung. Orang-orang Indonesia yang suka ulang-alik naik pesawat terbang ke Thailand, mengaku tiba-tiba merasa jetlag melihat fenomena yang terjadi saat ini.

Yang pasti, kini sudah muncul konsumen anthurium baru yaitu mereka yang membeli harga dan kelompok yang membeli nama.

Kelompok pertama adalah para followers yang suka ikut-ikutan trend anthurium dengan membeli bibitan. Namun ketika harga kecambah Jenmanii 2 -3 daun naik dari Rp. 100 rb, menjadi Rp. 150rb, mereka langsung melupakannya. Sedang kelompok kedua adalah mereka yang sibuk membeli anthurium-anthurium dengan nama baru, meski kadangkala belakangan mereka baru menyadari bahwa tanaman itu tidak ada bedanya dengan koleksi sebelumnya.

Belakangan saja ada pergeseran minat. Anthurium bertongkol laris manis diuber-uber. Ini menunjukkan pembeli anthurium makin pintar. Semua ingin jadi investor. Harga jual dan harga beli semua dihitung dari berapa panjang tongkol, dan berapa jumlah biji yang dihasilkan. Roset tidaknya tanaman, atau banyak-sedikitnya jumlah daun kini dianggap tidak terlalu penting.

Masyarakat pun mulai merasa pandai menebak. Kalau Jenmanii mahal, mereka memburu Hookeri. Kalau Hookeri sulit didapat dan harga mulai melejit, mereka pindah ke Gelombang Cinta. Kalau Gelombang Cinta juga sudah susah dicari, mereka sudah ancang-ancang mengincar Garuda, Corong, Keris, Dasi…

Kalau main tebak-tebakan semacam ini benar, kita mungkin bisa tidur nyenyak. Dan saat bangun, bank di-rush, harta benda dilego, semua uang ditanam untuk anthurium.

Tapi nyatanya, masih ada saja orang yang menjual, dan anehnya tetap saja ada yang mau membeli dengan harga mahal. Ini menunjukkan orang masih gelisah takut kelamaan memegang bola panas. Di tengah kegelisahan itu, kita pun sibuk menduga-duga. Jangan-jangan sedang terjadi money laudring (praktik cuci uang).

Ada juga yang mensinyalir, jangan-jangan ada permainan tingkat tinggi di sini. Anthurium diborong, tapi diam-diam diekspor ke Thailand, biar orang Indonesia membeli dengan harga mahal di sana lalu mengimpornya lagi ke tanah air. Snowballing effect, itulah kondisi yang sedang kita alami, kata penganut kepercayaan tersebut. Kalau saya boleh juga jadi tukang ramal, maka Anthurium-anthurium indukan, besar kemungkinan akan tetap memiliki value tinggi, akibat supply yang minim.

Anthurium ukuran anakan, atau remaja bisa jadi akan jadi komoditi generasi anthurium berikutnya, apalagi ada berita, sebentar lagi akan ada panen raya anthurium. Masalahnya apakah ‘fenomena kesurupan’ itu masih akan berlangsung lama?

Tenang saja. Kalau pun di suatu hari nanti pamor tanaman daun ini merosot, sepanjang kita mau belajar dari sejarah, harga biasanya tidak harus langsung terjun bebas ke bumi. Yang sudah jelas, kini kita memperoleh pelajaran, bahwa tanaman yang suka menyita lahan sempit kita itu, kalau kita rawat baik-baik, akan mendatangkan berkah juga.***

Kurniawan Junaedhie
Wartawan & Praktisi tanaman hias