Senin, 16 November 2009

Tukang Kebun Profesional

Popularitas dan eksistensinya di jagad jurnalistik nasional rela dia tinggalkan, hanya untuk menjalani profesi pedagang tanaman hias. Tapi, terobosan pemasaran yang dilakukannya melalui internet membuatnya meraih sukses.

MENJEJAK struktural tertinggi dalam sebuah pekerjaan, merupakan suatu hal yang didambakan kebanyakan orang. Namun tak sedikit pula yang akhirnya memilih hengkang demi menyelami kehidupan yang ‘lebih baru’ dan menantang dengan menjadi usahawan. Inilah yang dilakukan Kurniawan Junaedhie.

Ya, siapa yang tak mengenal lelaki yang satu ini dalam jagat dunia jurnalis dan kalangan penulis. Namanya tak asing sejak puluhan tahun silam, sebagai seorang wartawan dan penulis. Selain mampu meraih pucuk pimpinan, Kurniawan juga mampu melahirkan judul-judul buku yang ditulisnya dengan segenap hati.

Namun lelaki murah senyum ini akhirnya meninggalkan pekerjaannya demi menjajal dan menjajak sesuatu yang asing baginya, yakni menjalani usaha berjualan tanaman hias sejak 2005 lalu. “Memang kala itu, banyak yang berusaha menahan saya untuk tetap tinggal dan bergelut di media, tapi niat dan tekad saya sudah bulat untuk mengaruhi hidup baru,” urai Kurniawan kepada Berita Kota, Sabtu (8/8).

Berbekal hobi mengurus dan mengoleksi tanaman hias, Kurniawan makin yakin hidupnya bisa berkembang dengan berjualan di bidang yang masih sedikit orang menggelutinya. Saat memutuskan menjadi pedagang tanaman hias di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang dengan label “Toekang Keboen”, Kurniawan tak hanya sekadar berjualan secara konvensional. Usahanya pun dikelola dengan sistem manajemen.

Dibantu sang istri, Kurniawan berusaha melakukan berbagai hal yang tak biasa dilakukan pedagang tanaman hias lainnya. Untuk memasarkan produk-produk unggulan tanaman hiasnya, Kurniawan tak hanya menerima kunjungan pembeli langsung ke lokasi, tapi juga melebarkan sayap dengan menjual via internet.

Hasilnya? Hampir dari seluruh penjuru Tanah Air sudah mengenal Toekang Keboen dan memesan aneka tanaman hias, baik yang dijual regular ataupun dijual dengan harga promosi dan lelang. Saban hari, Kurniawan selalu meng-update website-nya agar pembeli di dunia maya bisa terus melihat perkembangan harga-harga tanaman hias yang ditawarkan. Walaupun dijual lewat internet, namun Kurniawan selalu mengutamakan kualitas tanaman, sehingga pembeli tak kecewa saat menerima kiriman tanaman yang dipesannya. Dengan basis utama “Kepercayaan dan Bisa Dipercaya”, membuat usahanya berkembang pesat. Bahkan untuk memenuhi permintaan pelanggannya, sejak 2006 Toekang Keboen membuat toko pupuk, obat-obatan tanaman, serta toko buku dan majalah seputar pertanian. NAOMY

Dimuat Berita Kota Senin, 10 Agustus 2009 00:00

Minggu, 15 November 2009

Terpenjara Masa Lalu

Oleh Kurniawan Junaedhie

Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.

Fenomena Kesurupan

Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.

Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.

Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”

Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.

Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.

Jumlah Nurseri Naik 700 Persen

Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.

Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.

Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.

Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.

Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)

Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.

Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?

Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?

Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.

Selalu Optimis

Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?

Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.

Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.

Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.

Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.

Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.

Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***

Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".

Menunggu Jagoan Baru

Sejak akhir tahun lalu, bisnis tanaman hias lesu, letoy dan memble. HP saya setiap hari penuh dengan pesan singkat berisi keluh-kesah dari teman-teman dari Sabang sampai Merauke. Tak sedikit yang putus asa dan bertanya: Apa tanaman masih punya prospek sebagai bisnis? Bahkan ada sejawat, saking kesalnya dicekam rasa sepi, mau melego tanah, greenhouse beserta tanamannya.

Saya kira ada banyak faktor yang membuatnya.

Faktor pertama, tentu saja, situasi perekonomian. Survei yang dilakukan Bank Indonesia menemukan, bahwa Indeks Keyakinan Konsumen di bulan Januari 2008 merosot jauh dan ini tercatat merupakan posisi terendah sejak sembilan bulan terakhir (Kontan, 13 Feb. 2008). Apa maknanya? Hasil survei itu mengindikasikan, orang Indonesia semakin pesimistis dengan kondisi ekonomi saat ini. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok membuat prospek ekonomi nasional menjadi tak menentu.

Faktor kedua, ialah cuaca. Hujan turun terus-menerus di berbagai daerah. Kalau tidak banjir, gempa bumi, tanah longsor, ombak atau air laut yang naik pasang. Ini memang force majeur. Tak bisa diprediksi, tak bisa disesali. BMG menyebutnya sebagai anomali cuaca akibat Global Warming.

Banyak yang tidak sadar, dunia tanaman hias juga sedang mengalami situasi yang disebut anomali orientasi. Setelah Anthurium turun panggung, kita merindukan jagoan baru. Persis seperti yang terjadi setahun sebelumnya, saat aglaonema tak lagi dicari, kita linglung seakan kehilangan tokoh idola. Yang menarik, entah kebetulan atau tidak, para jagoan itu biasanya turun panggung memilih moment sensitif: pada akhir dan awal tahun. Hanya tahun ini, banyak orang bilang, waktunya berlangsung terlalu lama.

Sebetulnya sudah banyak yang melakukan ice breaking dengan mencoba mengatasi situasi stagnan ini. Misalnya, mencoba mengintroduksi superhero baru berupa tanaman-tanaman alternatif sebagaimana tahun lalu, melahirkan Pachypodium, Adenium Bonsai, Sansevieria dan Puring impor.

Menjelang tahun 2008, tanaman Senthe sempat ditawarkan lengkap dengan ‘cerita’ di baliknya. Misalnya, tanaman itu bagus untuk mengusir setan atau menghalau pengaruh black magic dan sebagainya

Ada juga upaya mencoba menyodorkan alternatif lain seperti Pakis Monyet, tanaman yang bentuk dan bulunya mirip seekor monyet itu. Supaya keren, tanaman itu juga dilumuri aneka mitos. Misalnya, Pakis Monyet atau juga disebut Pakis Hanoman itu adalah tanaman kesukaan Sun Go Khong, tokoh kera dalam mitologi klasik Cina. Lalu Sanse dan seterusnya.

Banyak orang bertanya; apa tanaman baru yang bakal ngetrend di tahun 2008 Maksudnya, apa atau siapa jagoan baru mendatang? Saya kira, kosa tanaman hias sejak dulu ya itu-itu saja. Yang ada siklus tanaman. Misal, tanaman lama, yang dulu tidak diperhitungkan, tiba-tiba muncul, diburu orang, dan bisa dijual dengan harga mantap. Coba siapa sangka Anthurium bakal berharga jutaan padahal tahun-tahun sebelumnya disepak-sepak?

Terus ada yang bilang, supaya tanaman itu ngetrend, dan jadi jagoan, harga tanaman itu harus bagus. Dan supaya harga bagus maka tanaman itu harus sedikit populasinya. Kalau populasinya banyak orang sudah pasti enggan memburu.

Rekayasa Populasi

Kalau mau repot, sebetulnya ada cara klasik tapi jitu untuk menciptakan superhero baru. Yakni, melakukan rekayasa populasi, dengan cara menguasai atau memonopoli peradarannya. Sikat habis barang yang beredar di pasaran lalu secara pelahan-pelahan, dan sedikit demi sedikit digelontorkan ke pasar dengan harga semakin meningkat.

Beberapa tahun lalu, Adelia, aglo hibrida silangan Greg Hambali (biasa disebut aglo-aglo lokal) sempat di’habisi’. Alih-alih tanaman itu jadi dilupakan orang dan tidak laku, eh tanaman tersebut malah menjadi incaran orang. Kalau ingatan kita masih jernih, saat itu perimbangan supply dan demand sempat terguncang. Pedagang penasaran, ujungnya juga end users ikut kalap, sibuk berburu, membeli berapa pun harganya, kuatir harga naik lagi. Persis saat orang kesurupan Anthurium belum lama berselang.

Kata sahibul hikayat, ada sejumlah actor intelectual di belakangnya. Merekalah yang menghabisi, dan yang kemudian melepasnya ke pasaran dalam jumlah terkendali. Maksudnya, menjaga populasi agar harga meningkat. Harga Adelia pun dengan cepat merambat naik, dari cuma Rp. 90rb, merambat menjadi Rp. 125ribu sampai kemudian sempat mencapai Rp. 600rb per helai daunnya.

Euphoria Adelia, tak syak mendongkrak pamor aglo-aglo Greg lainnya. Harga Tiara sempat dihargai Rp. 3 juta, Widuri dihargai Rp. 5 juta, dan Hot Lady dihargai sampai Rp 6 juta per daunnya.. Heran juga, waktu itu saya rela membeli anakan Hot Lady 3 daun hasil splitan, seharga Rp.17,5 juta per pot. Lupa-lupa ingat, pasti waktu itu saya berpendapat, belum trendy kalau tidak punya aglo-aglo Greg Hambali.

Aglo-aglo lokal pun bersimaharajalela di pasaran. Harga memang naik, tapi populasinya juga tak terkendali. Apesnya, di saat itu, para actor intelectual mulai menyapih pasar. Mereka menjual dengan harga tinggi tapi tak kunjung membeli kembali. Mekanisme pasar akhirnya yang bekerja secara alamiah. Harga pun anjlok karena tidak ada ‘badan penyangga’ lagi di sana. Saya kaget campur haru, belum lama ini membaca ada sebuah nursery menawarkan harga sehelai daun Adelia ‘hanya’ Rp. 100rb per helai daunnya. (LangitLangit.com, 24 Jan. 2008).

Belajar Sampai Negeri Cina

Belakangan ini, harga anthurium juga dikhabarkan semakin hari semakin merosot. Di milis atau di forum diskusi, penurunan harga itu dibilang sebagai “koreksi harga” atau “harga terkoreksi”. Makna semantik dari kata-kata itu adalah bahwa harga yang dulu salah, dan karena sudah dikoreksi, harga yang sekarang dianggap benar. Tapi apa itu anggapan correct (benar)?

Ada cerita menarik. Ketika pertama dimunculkan, harga Senthe Wulung mencapai Rp. 250rb. Banyak pedagang memborong karena beranggapan, tanaman mirip talas ini bakal menjadi jagoan baru. Tahu-tahu orang sudah menjual dengan harga lebih murah. Dan mendadak sontak tanaman ini ada di mana-mana. Baru tahu kita, populasinya banyak. Tanaman ini bukan tanaman asing untuk masyarakat Indonesia. Senthe termasuk keluarga Caladium. Di beberapa daerah tanaman yang bikin gatal itu biasa untuk pakan kambing atau ikan gurame.

Kasus hampir sama terjadi pada Pakis Monyet tadi. Waktu pertama keluar, harga satu potnya dihargai Rp. 250rb. Tapi hanya dalam hitungan bulan, harganya memble. Belakangan ketahuan, tanaman itu mudah diambil dari hutan-hutan di Palembang.

Jadi harga yang turun ternyata bukannya membuat orang datang memborong, tetapi malah membuat orang semakin takut membelinya. End users dan pedagang takut, kalau-kalau harga nanti bakal merosot lagi. Saya kira justru logika kita yang harus dikoreksi: Tidak benar harga anthurium atau aglaonema yang semakin murah, membuat orang berduyun-duyun membelinya tapi justru membuat orang lari tunggang-langgang menjauhinya.

Ada yang sinis, itulah memang tabiat jagoan kandang. Tidak kuat nyali. Lebaran masih dua minggu, harga sudah dibanting-banting. Jagoan baru yang kita mau tentu harus tahan banting dan tidak cemen. Indikasinya bisa dilihat di meja-meja para pedagang. Kenapa?

Pertama, pedagang tanaman (biasanya) tidak pernah pro-end user tapi lebih pro-kantong sendiri. Dia bukan memikirkan murah atau mahal. Tetapi mana yang bisa dijual dan menguntungkan. Kalau tanaman itu tidak bisa dijual apalagi tidak menjanjikan keuntungan, mereka tentu akan malas memasarkannya.

Kedua, pedagang juga butuh kepastian. Kalau harga tidak pasti, mereka pasti ogah membeli dan menjual nya. Padahal kenyataannya, tidak hanya harga, untuk tanaman-tanaman yang kita jagokan pasokannya saja sering-sering tidak pasti.

Dari pengamatan saya singgah ke beberapa daerah baik di Pulau Jawa maupun di Luar P. Jawa selama awal tahun ini, hasilnya memang agak pahit.

Kalau tanaman impor lebih berjaya, pasti bukan salah bunda mengandung. Tanaman-tanaman impor punya kalkulasi bisnis yang jelas. Ada komponen harga yang pasti, seperti bea cukai, beaya karantina, pajak impor, ongkos cargo dan lain-lain yang membuat harga tanaman memiliki harga standar dan tidak bisa dibuat seenak udel.

Repotnya kalau kita bilang “impor”, rasa nasionalisme kita langsung bangkit. Kita lalu menyerang anthurium impor, aglo impor, pepaya impor dan barang-barang impor lainnya dengan membabi buta dan menyebar fitnah keji. Padahal, sudah sejak dulu kita dianjurkan belajar sampai ke negeri Cina. Mestinya kalau suasana tahun baru masih sepi, ya, sabarlah. Kita tidak sendiri.***

Serpong, medio Februari 2008
Kurniawan Junaedhie, pecinta tanaman hias

*) Artikel ini ditulis khusus untuk LangitLangit.Com

Totalitas dalam Bisnis Itu Penting

Setelah 25 tahun melanglang buana di dunia pers, Kur—sapaan akrab Kurniawan Junaedhie—memutuskan untuk pensiun dini. Tahapan demi tahapan di bidang jurnalistik pun telah ia alami. Namun saat ini, namanya justru berkibar di kalangan pencinta tanaman hias.

Alasannya simple saja. “Saya masih dibutuhkan pada saat itu. Namun, saya butuh untuk mengaktualisasikan diri,” ujar pria yang berdomisili di Serpong, Tangerang ini. “Saya mau wiraswasta dan saya mau merdeka”, katanya dengan mantap.

Berdasarkan tekad itu, Kur memilih tanaman hias sebagai sasaran bisnisnya. Memelihara tanaman hias memang salah satu hobinya. Dengan mengandalkan kolega dan komunitas yang ia punya, informasi akan bisnis ini pun ia dapatkan dengan mudah.

Jika ditanya soal modal, dengan tegas ia menjawab tidak ada. “Karena yang dijual adalah koleksi saya. Koleksi itu kan nggak bisa saya katakan modal. Wong, saya jajan kok. Jadi sewaktu saya jual kan merasa bukan modal,” katanya. “Kalaupun bicara masalah modal, waktu itu modal saya hanya 10 tanaman adenium dan 50 tanaman euphorbia yang merupakan ‘hutangan’ dari teman saya. Nah, terus saya perbanyak sendiri sampai sekarang,” tambahnya.

‘Kecelakaan’ yang menguntungkan
Bak gayung bersambut, nampaknya niat Kur untuk menjalankan bisnis inipun berjalan sesuai harapan. Bahkan, iapun tak pernah memimpikan untuk memiliki gerai sendiri. Hingga suatu saat, salah satu dari tukang tanaman langganannya menawarkan sebidang tanah.

Awalnya gerai itu memang kosong. Namun, baginya, tanaman itu beranak-pinak. Dari sana, kesuksesan ia peroleh.

“Saya orang beruntung,” katanya. “Jadi, pada saat memulai bisnis ini empat tahun lalu saya mengalami apa yang dialami senior saya. Booming anthurium,” kata pemilik gerai toekangkeboen ini.

Meski baru empat tahun menjalani bisnis ini, nampaknya Kur sudah cukup mampu bersanding dengan para seniornya. Kur pun mengakui bahwa yang membedakan dirinya dengan pebisnis lain adalah background-nya sebagai seorang wartawan.

Manajemen bisnis tanaman hias ala Kur

Berbagai cara pun ia lakukan untuk membuat gerainya maju dan terkenal. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan modern. Mulai dari spanduk, menjual minuman untuk para tamu yang mengunjungi gerainya, sistem pembayaran dengan menggunakan kartu kredit, dan membuka situs web toekangkeboen.com. Namun, dari sekian banyak pendekatan yang Kur lakukan, satu hal yang tidak bisa ditiru adalah dirinya sebagai penulis. “Saya bikin buku dan talkshow. Ini tidak bisa ditiru. Di sanalah letak perbedaannya,” katanya menambahkan.

Bagi pria berkulit putih ini, yang ia jual di gerainya bukan hanya tanaman. Ibarat jualan ayam goreng, yang dijual tidak cuma ayam, melainkan pula sambalnya. Karena sambal itulah yang membedakan.

Menurutnya, inti dari manajemen bisnisnya adalah memberi rasa nyaman. “Orang masuk ke sini, kemahalan aman. Artinya orang bisa memarahi saya. Kalau ada konsumen merasa kemahalan, bisa memarahi saya. Dibandingkan dengan kita beli sama orang yang jualnya sambil cemberut. Memang murah, tapi kalau dikomplain dia marah. Berarti nggak aman kan?” aku pria yang juga hobi bermain gitar dan menyanyi ini.

Positioning dalam bisnis tanaman hias

Ketika kita memutuskan untuk memasuki bisnis tanaman hias, banyak posisi yang bisa kita fokuskan. Mau jadi pedagang atau kolektor?

Menurut penulis buku Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias (AgroMedia, 2007) ini, penempatan posisi inilah yang kerap kali salah dilakukan oleh orang-orang yang akan memulai bisnis tanaman hias.

“Kalau ingin seperti saya, harus memosisikan diri sebagai pedagang. Pedagang itu menjual barang yang laku. Pedagang itu menjual yang terbaik. Kalau pedagang, yang bagus disodorin. Yang jelek, ya bilang jelek,” ujarnya. Hal inilah yang membedakan dengan dengan kolektor tanaman.

Jujur adalah kuncinya. Karena dari kejujuran itulah, kepercayaan dan rasa aman konsumen akan terjalin. Namun semua itu kembali lagi pada penerapan yang kita lakukan. Apakah sudah benar atau masih kurang tepat?

Prospek bisnis tanaman hias

Selain menjadi orang yang beruntung, Kur ternyata juga memiliki kelebihan untuk memprediksikan tanaman hias apa yang akan booming. Tak ayal, banyak orang yang menanyakan padanya, bagaimana prosepek bisnis ini ataupun tanaman apa yang bakal naik di tahun 2008.

Dengan penuh keyakinan, Kur pun menjawab, “Bagus!”, saat ditanya mengenai prospek bisnis tanaman hias ini. Baginya, bisnis tanaman merupakan komoditi yang luar biasa.

Namun, menurutnya, kita masih kekurangan orang yang dedicated terhadap bisnis ini. Kebanyakan dari mereka yang membuka bisnis ini hanya menjadikannya sebagai usaha sampingan. “Kita harus total. Artinya, harus memerhatikan,” tambahnya.

Dari totalitas inilah, Kur memperoleh banyak pengetahuan. Salah satunya adalah siklus tanaman hias. “Orang pada mengeluh sekarang. Kok sepi ya, kok sepi ya? Bagi saya aneh. Setelah saya memerhatikan dan mempelajari, siklus itu memang ada. Setiap habis lebaran, atau tahun baru. Ya, kita tinggal tunggu saja. Nggak usah dipusingin. Sebenarnya mereka itu ngerti, tapi nggak pernah memperhatikan,” kata pria yang juga menulis buku Panduan Praktis Perawatan Aglaonema (AgroMedia, 2006), Pesona Anthurium Daun (AgroMedia, 2006), dan Menjadi Milyarder Dari Anthurium Daun (AgroMedia, 2007).

Saat ditanya mengenai tren tanaman hias di tahun 2008 ini, Kur hanya menjawab, “Saya belum tahu. Sampai bulan Maret ini, memang belum bisa diprediksi. Siklusnya memang seperti ini,” katanya sambil menutup percakapan.

(Dikutip dari: agromedia.net)

Model Bisnis Tanaman Hias

Jual tanaman hias tidak selalu di kakilima atau punya lapak. Banyak model dan caranya. Bahkan dengan menjadi hunter dan makelar pun oke. Pilih saja sesuai kondisi keuangan, kesehatan dan cita-cita Anda sejak kecil. Tentu saja, semua pilihan ada plus-minusnya. Tapi siapa tahu, tulisan ini bisa menerbitkan gagasan baru.

1. Sewa dan buka gerai tanaman hias.
Ini cara paling konvensional. Jual tanaman hias dengan cara menyewa lapak di tempat terbuka.

Kalau Anda punya nyali dan mau sedikit nekad, bisa gunakan lahan kosong milik pengembang yang tidak difungsikan atau lahan kosong milik siapa saja. Cuma konsekuensinya, Anda harus siap-siap dikejar petugas Trantib dan berurusan dengan para preman. Jelas, cara ini tidak dianjurkan.

Yang paling baik, sewa saja secara resmi lapak-lapak di sentra-sentra tanaman hias yang juga resmi. Di Jabodetabek misalnya ada di Ragunan, Jakarta Selatan; Flona Alam Sutera, Serpong Tangerang dan Pusat Tanaman Hias BSD City di Kompleks Taman Tekno.

Sistem sewa biasanya dihitung per bulan atau per tahun di luar beaya kebersihan dan keamanan. Hitungan untuk tahun 2007, rata-rata per tahun antara Rp. 5 sampai 10 juta untuk setiap kapling. Kalau lahan sudah habis di tempat resmi tadi, Anda bisa ‘membeli hak pakai’ pada penyewa lama secara bisik-bisik. Dengan catatan, penyewa lama sudah bosan, tentu saja. Harga beli ‘hak pakai’ juga bervariasi antara Rp. 20 juta sampai Rp. 100 juta per kapling.

Menyewa lapak di sentra penjualan tanaman hias resmi, selain tidak dikejar-kejar petugas Trantib, Anda juga tidak perlu repot-repot promosi. Karena sentra tanaman itu sendiri sudah mampu mengumpulkan pengunjung. Paling tidak, kalau Anda belum punya pelanggan, kalau nasib baik, ada pelanggan tetangga kesasar masuk ke gerai Anda. Yang perlu Anda lakukan tinggal memajang tanaman-tanaman yang bagus, memasang karyawan yang ramah dan membuat gerai Anda menyenangkan.

2. Sewa stand dan buka pameran.
Pameran Tanaman Hias merupakan ajang promosi dan ajang penjualan yang bagus. Pihak penyelenggara melakukan banyak promosi untuk mengudang konsumen datang. Kalau Anda sewa stand dan buka pameran di situ, bukan mustahil gerai Anda dikunjungi orang, dan tanaman Anda dibeli orang.

Sekadar informasi, di Jabodetabek, sewa stand saat ini berkisar antara Rp. 750rb sampai Rp. 3 jt, untuk ukuran gerai 3 x 5 meter, selama pameran berlangsung antara 7 sampai 10 hari.

Di Jakarta ada beberapa event pameran tanaman yang berskala nasional, seperti Pameran Flora Fauna di Lapangan Banteng setiap bulan Agustus, atau pameran-pameran tanaman hias yang diselenggarakan Majalah Trubus. Tapi banyak juga pameran-pameran serupa yang diselenggarakan oleh Pemda, Supermal, atau event organizer, di banyak tempat. Kalau Anda berminat, silakan saja hubungi penyelenggaranya.

Yang perlu Anda lakukan, selain menyiapkan tanaman hias andalan adalah mencetak kartu nama untuk disebar. Jangan lupa cetak nomor telepon Anda jelas-jelas, agar setelah pameran usai, tanaman Anda tetap dibeli orang.

3. Open House.
Open house atau buka nursery di rumah sendiri paling enak. Anda bisa setiap hari menongkrongi, memantau, dan menerima pembeli. Kalau bisnis Anda laku, Anda boleh bilang pada keluarga di rumah yang ikut menyaksikan, bahwa jadi pedagang tanaman hias tidak hina. Cara ini gampang dilakukan bila Anda punya pekarangan atau lahan yang memenuhi persyaratan. Tapi bagi yang tidak punya lahan, bisa bikin dak.

Enaknya, para tetangga yang lewat dan melihat, atau handaitaulan yang kebetulan mampir bisa menjadi pengiklan bisnis Anda. Syukur-syukur mereka juga ikut tergerak untuk membelinya, bukan malah memintanya secara gratis. Jika yang terakhir ini terjadi, jangan sekali-kali Anda mengabulkannya. Lebih baik Anda menjual kepada mereka dengan harga miring atau rugi, daripada memberinya cuma-cuma. Jangan sampai yang kemudian menjadi berita dari mulut ke mulut adalah bahwa tempat Anda adalah tempat yang tepat di mana orang bisa mendapatkan tanaman secara gratisan. Dengan menjual murah atau rugi, sedikitnya, yang akan menjadi berita adalah tempat Anda tempat menjual tanaman dengan harga murah.

Keuntungan lain dengan memilih cara ini, Anda tentu saja tidak perlu buang beaya untuk menyewa lapak. Juga, kalau sedang tidak ada pembeli, Anda bisa menikmati keindahan setiap hari. Kerugiannya: istri, mertua, anak atau cucu Anda bisa terganggu ruang geraknya. Anda juga harus mulai bersiap-siap memiliki rumah seperti hutan belantara. Cara ini juga bisa dilakukan secara luwes. Misalnya, kalau Anda masih ngantor, atau punya usaha lain, Anda bisa hanya open house pada hari Sabtu dan Minggu saja.

4. Nitip teman yang menjual tanaman atau pada penjual tanaman yang Anda kenal.
Ini cara paling aman, terutama jika Anda tergolong hobiis pembosan. Jadi kalau ada tanaman yang Anda anggap sudah menjemukan, Anda bisa mereka untuk memasarkannya. Cara nitip teman juga pas jika Anda tergolong pemalu, atau masih malu-malu menjadi pedagang tanaman hias.

Keuntungannya, rumah Anda nyaman, dan Anda tak perlu mengeluarkan beaya sewa lapak. Jeleknya, kalau tanaman Anda tersia-sia di tempat ‘penitipan’. Bahkan bukan tidak mungkin, orang-orang yang Anda titipi malah men’curi’ tanaman Anda dengan memotong bonggol atau akarnya tanpa Anda ketahui.

5. Menyewa tukang gerobak keliling.
Ini cara paling jitu kalau rumah Anda sempit, dan Anda tidak punya kebun sendiri.

Bikin gerobak dorong, dan panggil para pengangguran yang tinggal di sekitar Anda untuk diajak menjadi pedagang keliling tanaman hias. Suruh mereka masuk ke perumahan-perumahan menjajakan tanaman Anda. Dewasa ini banyak orang senang tanaman hias tapi terlalu sibuk untuk mendatangi nursery. Mereka adalah pasar potensial Anda.

Enaknya, setiap hari Anda menerima setoran dari para penarik gerobak dorong. Kalau setiap gerobak menyetor Anda uang Rp. 1 juta saja sehari, kita sudah bisa bayangkan, betapa indahnya bisnis tanaman hias. Dari sana sekaligus Anda juga bisa mendapat info tanaman apa yang disukai dan mana yang tidak disukai. Yang disukai, segera belanja di tempat penjualan grosir tanaman hias.

Risikonya, kalau penarik gerobak kabur beserta gerobaknya Anda bisa gigit jari. Tapi Anda bisa cegah duluan dengan menyimpan fotokopi KTPnya. Kalau ada apa-apa, tinggal lapor polisi.

6. Jadi Hunter atau Buser
Kalau Anda ingin dapat untung dari berjualan tanaman hias tapi modal cekak atau tidak punya modal sama sekali, cara ini bisa dilakukan. Yaitu dengan menjadi seorang hunter (pemburu) atau buser (buru sergap) tanaman hias. Pada dasarnya hunter maupun buser adalah makelar atau istilah kerennya, brooker. Modalnya, informasi dan sebuah hand phone yang bisa kirim foto melalui MMS (Multimedia Messaging Service). Dengan model bisnis ini, Anda bahkan tidak harus punya tanaman sendiri.

7. Buka kebun khusus sendiri di daerah pinggiran.
Cara ini mungkin termasuk cara paling mahal. Karena kita harus menyewa atau memiliki lahan luas di daerah pinggiran di mana harga atau sewa tanah masih murah. Tapi percayalah, meski di dearah pinggiran sekali pun, kalau koleksi tanaman hias Anda bagus, orang akan tetap memburunya. Bak syair lagu: “Ke gunung kan kudaki, ke laut kan kuseberangi….”

Keuntungannya, Anda bisa memilih konsumen yang datang ke kebun Anda. Kalau Anda sedang capek Anda bisa mengatakan nursery Anda tutup, Anda sedang di luar kota atau alasan-alasan lainnya. Bahkan Anda bisa menyeleksi pembeli Anda. Keuntungan lainnya, kalau orang sudah jauh-jauh datang ke tempat Anda, sudah pasti mereka juga akan berbelanja cukup banyak.

8. Buka kebun, sekaligus buka kedai kopi atau Galeri
Kalau kondisi keuangan memungkinkan, dan lokasi mendukung, selain buka kebun dan jual tanaman, Anda bisa menambah fasilitas lain seperti kafe atau kedai kopi, atau galeri lukisan. Jadi, selain berburu tanaman, pengunjung bisa minum kopi, atau beli lukisan.

Di Bandung ada All About Strawberry. Bapak Ibu beli tanaman strawberry, anak-anak bisa minum juice strawberry. Di Baturaden, Purwokerto ada Puspa Tiara Nursery yang menyediakan bakso dan kopi. Istri beli tanaman, anak-anak makan bakso dan suami bisa ngopi. Semua happy.

9. Menjajakan dengan Sepeda Motor atau Mobil.
Cara bisnis seperti ini boleh dicoba kalau Anda tidak punya lapak. Kita ambil dagangan di tempat kulakan, lalu menjajakan secara keliling dengan sepeda motor, atau mobil. Sasarannya, pedagang-pedagang tanaman hias kaki lima. Atau masuk ke pedagang-pedagang yang sedang buka stand pameran karena terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk kulakan..

Kita bisa jual per lima atau sepuluh pot. Tak usah untung banyak, asal penjualan lancar dan pembayaran bagus, sudah aduhai. Modalnya, cuma tahu tempat kulakan, tahu di mana sasaran kita berada, dan punya sepeda motor atau mobil yang bisa kita pakai. Kalau Anda bisa ngutang dulu di tempat kulakan, lebih asoy. Jadi Anda tak perlu mengeluarkan modal. Tentu saja, Anda harus langsung membayarnya begitu Anda menerima uang.

10. Bikin Website atau Blog
Kalau mau memasarkan tanaman Anda ke pasar lebih luas, Anda bisa bikin website. Di situ Anda bisa pasang foto-foto tanaman di situ, dilengkapi deksripsi dan harganya.

Bikin website tidak mahal. Anda paling cuma harus bayar seorang desainer web, suruh bikin web. Lalu hubungi dan bayar pihak web hosting, agar website Anda bisa disiarkan ke seluruh dunia. Kalau tidak mau repot, buat dan ciptakan blog. Gratis. Anda tidak perlu tahu bahasa html dan memahami aneka script yang rumit. Sudah begitu, Anda bisa kirim dan pasang gambar dengan cuma memencet tombol. Asyiklah.

Keuntungan lain kalau punya website, Anda juga bisa jadi brooker. Tanaman punya teman yang mau dijual difoto, gambarnya pasang di situ. Kalau laku, Anda dapat komisi.

11. Pasang Iklan Baris di Internet
Punya tanaman, tapi tidak punya gerai, atau malu mejeng di pameran, tidak bisa bikin gerobak boro-boro punya website? Gampang saja. Pasang iklan baris di Internet.

Dewasa ini banyak portal-portal tanaman hias yang bersedia memasangkan iklan baris Anda secara gratis. Contohnya, Trubus Online (http://www.trubus-online.com), dan LangitLangit.Com (http://www.langitlangit.com) . Syaratnya cuma satu: Anda tidak gaptek Internet. Kalau cuma tidak punya Internet, gampang, datang saja ke Warnet atau bawa laptop dan bayar voucher sewa hotspot yang banyak dimiliki supermal atau kafe.

Itu sekadar contoh. Sebetulnya kalau kreatif masih banyak cara lagi bisa dilakukan.***

(Dikutip dari buku JURUS SUKSES BISNIS TANAMAN HIAS, karangan Kurniawan Junaedhie, PT Agro Media Pustaka)

toekangkeboen.com Milik Siapa?

Belum lama ini, saya dikejutkan oleh banyaknya email dan SMS yang sekedar tanya pada saya, mengenai ikhwal toekangkeboen.com. Awalnya saya menganggap pertanyaan bodoh itu tidak perlu dijawab.

Seperti dalam kasus plagiat Abi terhadap tulisan saya di Kontan, baru belakangan saya tahu penyebabnya, yaitu ketika iseng2 masuk ke mesin pencari Google, ditemukan teks begini:

Awalnya ia membuat toekangkeboen.com. Selanjutnya tahun 2005, dibuat toekangboenga.com untuk penjualan adenium dan melepas toekangkeboen.com pada rekan. ... dst....

Siapa yang dimaksud ia dalam tulisan itu? Langsung saya klik tulisan tersebut. Yang dimaksud ia, rupanya Pak Teguh, sobat saya di Purwokerto. Tulisan itu pernah dimuat di Tabloid Gallery dan memang menyebut-nyebut toekangkeboen.com berdasarkan nara sumber Pak Teguh yang saya kenal paling banyak punya website jualan tanaman hias. Yang kaget, di Tabloid Gallery itu dikesankan seolah-olah pemilik toekangkeboen.com adalah Pak Teguh yang saya ketahui punya toekangboenga.com, daoenbagoes.com dlsb. itu.

Langsung saya hubungi Pak Teguh sekadar untuk menanyakan kok bisa ada tulisan seperti itu. Dan demi kebenaran saya sarankan, seyogyanya diralat saja, supaya publik jangan memperoleh informasi salah. Pak Teguh langsung mencak-mencak, agar saya tidak perlu meralat, karena beliau takut dianggap pembohong atau memberi data palsu kepada wartawan.

Hari itu juga, Pak Teguh langsung mengirim email berisi jawabannya terhadap tabloid dimaksud.
Tanggal: Tue, 11 Mar 2008 21:35:42 +0700 (ICT)
Dari:
"pak tani"
Topik: Terusan: Re: Balasan: Permohonan menjadi nara sumber untuk Tabloid Gallery
Kepada: kj@toekangkeboen.com

1. sejak kapan mulai menjual tanaman hias on line, dan dimana alamat kebunnya. Sejak th 2003 saya membuat website :
toekangkeboen.com yang kemudian saya berikan gratis kepada teman saya Kurniawan Junaedhie sebagai hadiah persahabatan pada tahun 2004. Tahun 2005 saya membuat website baru :petanibunga.com bahken kemudian disusul dengan lain-lainnya yaitu : toekangboenga.com (sepesial adenium), bijibunga ( biji adenium), daoenbagoes (tanaman daun : aglaonema, anthurium, philodendrondsb), tokopupuk.com (pupuk dan sarana produksi pertanian), adeniumlegenda (adenium klasik, antik danlegendaris), dsb. Alamat kebun : di Jalan Wahid Hasyim 273 A Purwokerto Jawa Tengah.

2. s/d 5 (didelete, kj)

--- tabloid gallery <
tabloid.gallery@gmail.com> wrote:>

Selamat siang
, kebetulan edisi depan tabloid gallery ingin membahas pembelian secara on line disini kami ingin menjadikan web site pak tani menjadi salah satu narasuber.. ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ketahui..
1. sejak kapan mulai menjual tanaman hias on line, dan dimana alamat kebunnya
(selanjutnya saya delete, kj)

Sungguh, saya tidak pernah komplin atau kirim surat ralat pada redaksi Tabloid Gallery. Di website toekangkeboen.com saya cuma menulis maklumat standar begini:

DIBERITAHUKAN bahwa TOEKANGKEBOEN.COM tidak memiliki hubungan --baik agen, perwakilan atau cabang-- dengan sebuah nursery online di mana pun, sebagaimana dimuat di sebuah media massa baru-baru ini. Bisnis, design web dan domain name sepenuhnya milik Kurniawan Junaedhie sejak tahun 2003. Mohon relasi dan pelanggan maklum.

Setelah saya beritahu kasus ini, teman-teman pun berkomentar: angin lebih suka menerpa pohon tinggi. Saya jawab, sebodo.

Beginilah nasib seorang mandor kebon.

Abi Oh Abi, Teganya Dikau Menyontek Tulisan Orang Lain

Seorang pembaca Kontan menulis surat terlampir dan dimuat di Kontan MInggu III Des. 2007. Dia heran, tulisan MIMPI INDAH BERSAMA ANTHURIUM tulisan saya yang dimuat di Kontan edisi Khusus Okt-Nov 2007 kok sama dengan yang dimuat ditablod TUMBUH edisi 7, 5-19 Des. 2007 dengan nama penulis berbeda yaitu Abi. Sebagai wartawan, pengarang dan penulis fiksi selama hampir 25 tahun, saya cuma bisa mengelus dada dan gemas. Banyak sekali orang2 muda seperti Abi yang suka menerabas, dan tidak mau melewati proses. Mereka ingin cepat2 sukses tidak mau repot. Adalah orang2 seperti ini, ketika nanti menjadi orang, akan melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya.

Di sebuah blog, pernah juga ada yang menanyakan hal yang sama tentang perkara yang sama, dan saya kutip juga di blog ini. Waktu itu reaksi saya mungkin agak lebih emosional. Hehehe. Sekarang mah santai.

Sebagai penulis yang tulisan2nya banyak di muat di media massa, terus terang bukan baru sekali ini, tulisan2 saya dibajak atau diplagiat orang seperti Abi di Tabloid Tumbuh. Dulu cerpen2, novelet2 maupun puisi2 saya juga sering dibajak orang. Jadi komentar saya, ya, no comment. Mau apa? Marah? Saya lebih baik menganggap Abi sengaja mengutip tulisan saya; tapi lupa--atau malas-- menyebut sumbernya. Cuma nakalnya, --kata surat di bawah, -- Abi masih menambah tiga paragraf. Sungguh terlalu dan tidak tau malu.

Saya tidak pernah melarang tulisan saya dikutip. Dan setahu saya banyak juga pemilik website dan blog, yang mengutip tulisan2 saya, dan sejauh ini mereka tetap menyebut sumber tulisan dan nama penulisnya, yaitu saya. Saya tentu ikut senang karena mereka --seperti juga wartawan-- telah ikut menyebarkan informasi.

Artikel Sama, Beda Penulis

SAYA adalah orang yang punya hobi membaca, terutama yang berkaitan dengan anthurium dan aglaonema, walau tidak sebatang anthurium pun tertanam di rumah saya. Saya hanya memiliki beberapa batang aglaonema Dona Carmen mahakarya Greg Hambali.

Kenapa saya sebut mahakarya karena memang aglaonema jenis inilah yang termurah dan yang paling merakyat, tidak pandang pangkat, derajat, golongan, kaya, maupun miskin.

Berkenaan dengan hobi membaca tersebut, saya menemukan artikel Fenomena Anturium pada Tabloid Tumbuh Edisi 7, 5-19 Desember 2007 dengan penulis Saudara Abi. Artikel yang sama telah dimuat pada Tabloid KONTAN Edisi Khusus Oktober-November 2007 dengan judul Mimpi Indah Bersama Anthurium oleh Saudara Junaedhi seperti yang dikutip secara fair pada website Toekang Keboen Nursery dengan menyebutkan penulis dan penerbitnya secara lengkap.

Artikel pada Tabloid Tumbuh tersebut sama persis dengan yang dikutip oleh Toekang Keboen di website-nya dari Tabloid KONTAN, kecuali dengan adanya tambahan tiga paragraf terakhir.

Seandainya Saudara Abi bukan alias dari Saudara Junaedhi, bisa dikatakan Saudara Abi adalah seorang plagiator. Ingat kita sudah memiliki Undang-Undang Hak Cipta, dan pemerintah sekarang ini sedang giat-giatnya melindungi hak cipta intelektual termasuk karya tulis yang dimuat di media massa.

Adalah tidak fair apabila Saudara Abi adalah Saudara Junaedhi sendiri, bila memang betul demikian adanya, seharusnya tulisan pada Tabloid Tumbuh ditambahkan keterangan yang menyatakan bahwa artikel tersebut telah diterbitkan oleh Tabloid KONTAN secara lengkap. Itu baru fair.

Brontho Dwiatmoko,
Tangerang

Lihat Kebunku di Cibinong






Foto-foto beberapa sudut dari kebun saya. DAUN MUDA, namanya.

Memanfaatkan hari kosong saya menyempatkan diri menengok kebun saya di Desa Cibinong, Gunung Sindur, Bogor. Kebetulan, rumah joglo saya mau didirikan. Rumah Joglo itu saya beli seharga 30 juta sekitar setahun lalu. Tapi baru dua minggu lalu, rumah joglo gaya banyumasan itu, saya angkut dengan truk dari Banyumas.

Punya Rumah Joglo memang obsesi saya sebagai anak urban, sekaligus anak yang dididik secara agraris. Tapi kalau boleh terus terang, belinya juga by accident. Karena minat sekali juga tidak. Kebetulan, ada sejawat mau menalangi. Dia berutang tanaman pada saya. Jadi karena aturan mainnya simpel, ya deal. Itung-itung saya barteran dengan tanaman. Jadilah, saya punya Rumah Joglo. Kebetulan saya kan punya kebun di Cibinong tadi......

Luas Rumah Joglo itu 7 x 9 meter. Kalau dikali, jumlahnya 72. Itu artinya 9. Itu angka keramat saja. Nama saya Kurniawan Junaedhie adalah gabungan angka 9 dan 9, yang kalau ditotal adalah 18 yang artinya juga 9.

Kembali ke soal kebun, itu adalah hasil jerih payah saya berjualan tanaman. Jadi jika orang berjualan tanaman hias menjual tanah dan rumahnya, saya menjual tanaman dan membeli kebun.

Luas kebun itu 'cuma' 5000 meter persegi, jadi satu hektar (10.000 meter persegi) saja belum. Setahun lalu, sekitarFebruari 2007, saya membelinya dengan harga Rp. 70 rb permeter dengan ngos-ngosan. Saya katakan ngos-ngosan, karena saya nekad deal, tetapi kantong masih kosong.

Mungkin Tuhan tahu keinginan saya, tahu-tahu anthurium booming. Antara Mei - Juli, hampir setiap minggu saya mengirim satu truk anthurium ke Jawa. Untung lumayan saja, karena saya tidak mengutip besar-besar untung untuk setiap tanaman. Jadi, tanpa banyak cingcong, tanah itu saya langsung lunasi, dan sekaligus membuat pagar dari beton (di kampung saya disebut 'Tembok Berlin').

Bikin pagar beton terbilang murah, tak perlu tukang banyak, dan praktis, meski risikonya orang kampung terperangah dan menganggap saya sebuah PT. Hanya dalam waktu 10 hari, tembok beton yang mengelilingi tanah saya itu sudah berdiri kokoh. Selanjutnya saya dirikan rumah di sana, niat hati untuk penjaganya, dan sebuah greenhouse. Lalu karena masih jembar, saya juga bikin meja-meja tanaman yang kayunya saja dari kayu ulin yang harga sekubiknya Rp. 12juta.

Kebun itu juga obsesi saya. Saya pengen di situ kelak berdiri sebuah nursery, kebun pembibitan saya, di mana orang bisa datang, membeli tanaman sambil minum kopi. Sudah saya beri nama, DAUN MUDA. Maria sudah setuju, setiap minggu saya mengunjungi daun muda saya. "Setiap hari pun boleh, urus yang bener," katanya. Hehehe...***

Road Show: Mabuk Tanaman

















Road show.
Itu mungkin istilah yang pas untuk aktivitas saya memasuki tahun 2008. Sejak diundang Majalah Pesona untuk berbicara mengenai Peluang Bisnis Tanaman Hias di Godong Ijo bersama Ir. Slamet, di depan sekitar 80 ibu-ibu partuh baya, saya jadi 'ketagihan' dan 'ditagih' orang untuk tampil di beberapa kota.

Terus terang, itu gara-gara saya dan istri (Maria) diwawancara di Majalah Pesona. Konon,lalu ada banyak permintaan untuk diadakan acara talkshow. Majalah yang memuat kami terbit November. Awal Desember, Mbak Shinta, redaksinya, mengkontak saya untuk acara itu. Langsung saya tolak. Karena saya lagi bosan membicarakan tanaman.

Sehari pulang dari plesir ke Bali, Mbak Shinta telepon lagi, dan mengajak lagi. Karena memang saya merasa sudah fresh, saya sanggupi. Begitulah ceritanya.

Arkian, setelah di Godong Ijo, saya dibooking Penerbit Agro Media Pustaka. Kalau bukan 'pulang kampung' saja mungkin tidak saya tanggapi ajakan itu. Penerbit tersebut sudah berulang kali mengundang saya berbicara di toko-toko buku. Tapi saya tolak. Pertama, saya memang sibuk, kedua ya, malas. Dugaan saya, para pemirsa di toko buku bukan target audience saya. Saya takut, terus terang saja, selagi mendengar saya bicara, mereka sibuk tengok kiri-kanan, karena ada 'pemandangan indah' lewat.

Setelah itu ada beberapa undangan lagi, supaya ngomong di hari Sabtu. Dari beberapa daerah. Termasuk dari Banjarmasin, yang meminta saya untuk berbicara tentang Pesona Anthurium di depan para pejabat dan undangan umum, dalam sebuah lelang anthurium. Patner saya, katanya, Dorce Gamalama. Honor, lumayan. Tapi tanggal bentrokan. Jadi saya tolak. Dan saya 'hibahkan' kepada Ir. Slamet, Direktur Operasional Godong Ijo. Alhamdulillah, Pak Slamet oke-oke saja.

Terakhir, saya jualan abab (abab itu napas, dalam bahasa Jawa) ke Samarinda, atas undangan Pemerintah Kota Samarinda. Sekaligus menjuri tiga kontes: anthurium, adenium dan aglaonema. Karena hubungan baik, dengan Pak Camat Drs Sugeng Chjaeruddin, Pak Sugiyanto, Event Organizer yang sehari-hari Sekdes Desa Karanganyar, Pak Safruddin, Kadin Diknas dan beberapa teman di sana, tentu saja saya tidak bisa menampik. Jadi persis di Hari Imlek, 7 Februari, saya justru ada di Samarinda.

Seperti biasa, sambutan para pejabat setempat selalu menyenangkan. Saya diajak kian kemari untuk makan enak. Mulai dari menyantap Ikan Patin, Bandeng Tanpa Duri, Udang Galah sampai Kepiting Lada Hitam disodorkan sampai kenyang. Belum cukup, perut saya juga masih dijejali Durian dan Lay, durian yang buahnya warna kuning, baunya seperti durian tapi rasanya kayak pohung. Jadi, itung-itung wisata kuliner. Bak artis saja, rombongan saya (Pak Iwan dari Permata Orchids dan Rudi Poerwanto dari Majalah Flona) juga diajak siaran langsung di Radio Borneo, radio swasta setempat yang punya pendengar kalangan profesional muda dan eksekutif.
Waktu pulang, saya dapat oleh-oleh banyak. Ada yang berupa kardus, ada yang berupa cendera mata dan berupa batik Samarinda.

Tampaknya road show saya masih akan benar-benar berlanjut. Akhir Maret, insya Allah saya terbang ke Lampung. Ibu Christy, kenalan, dan sahabat saya di sana, mengundang saya untuk jadi juri. "Pak Kurniawan akan jadi tamu spesial suami saya," katanya via SMS.

Hehehe..... Hidup memang aneh. Siapa nyana saya jadi sibuk bicara tanaman hias, dan bukan dunia kewartawanan.***

Tulisan Saya di Kontan Dibajak Abi di Tabloid Tumbuh?

(Tanpa sengaja, saya menemukan surat yang ditulis Retty N. Hakim ini di wikimu.com. Tak disangka, menyebut nama saya, dan juga tulisan saya di Tabloid Kontan, Mimpi Indah Bersama Anthurium, (dimuat Tabloid KONTAN Edisi Khusus, Oktober - November 2007). Rupanya tulisan tersebut telah dibajak dan dimuat di tabloid Tumbuh (edisi 7, terbitan 5 - 19 Desember 2007) dengan nama penulis bernama Abi. Saya belum pernah membaca tulisan dimaksud di Tumbuh. Saya juga tidak membaca surat Brontho Dwiatmoko (Tangerang), pembaca, yang mempersoalkan duplikasi tulisan itu. Redaksi KONTAN sendiri tidak pernah meminta klarifikasi saya. Untuk diketahui, tulisan saya itu adalah atas pesanan redaksi, dan saya tulis khusus untuk KONTAN. Sebagai seorang penulis dan lama berkecimpung di dunia pers, tentu sangat naif saya mengirim ulang tulisan pesanan khusus ke tempat lain dengan menggunakan nama lain. Ketika saya bekerja sebagai redaktur sejumlah media dulu, saya termasuk yang paling tidak bisa mentoleransi penulis yang mengirim tulisan ganda ke beberapa penerbitan sekaligus. Jadi mungkin saja, redaksi KONTAN bersikap seperti saya, no comment saja. Hanya sungguh menyedihkan, sampai sekarang masih banyak orang/ penulis memilih jalan pintas. Malas berkreasi dan malas berpikir. kj)

Artikel ...oh...Artikel!
Oleh: Retty N. Hakim
Sabtu, 22-12-2007 20:35:59

Ketika tulisan saya yang berjudul "Apa Arti Kejujuran dan Integritas Seorang Penulis?" saya turunkan ke wikimu, sebenarnya saya mengharapkan para wartawan senior memberikan sedikit tuntunan etika jurnalistik.

Bung Berthold Sinaulan, salah satu komentator dalam artikel itu, adalah wartawan senior di media cetak. Tapi entah kemana wartawan senior lain yang sering saya lihat namanya di wikimu (Mohon maaf bagi komentator lain yang mungkin saja adalah wartawan senior juga).

Tidak berapa lama kemudian penulis yang saya singgung dalam tulisan di atas mengirimkan e-mail kepada saya dengan penjelasan yang sedikit lebih panjang dari tulisan penjelasan beliau di Kompas.

Pertama dia menjelaskan bahwa dia merasa benar karena seorang redaktur Opini harian Kompas dalam mengisi in house training di The Indonesian Institute menjelaskan bahawa dalam menulis opini sah-sah saja mendaur ulang tulisan dengan catatan bahwa tulisan yang didaur ulang sebaiknya dikirimkan kembali ke media cetak yang sama, serta masih adanya relevansi untuk daur ulang tulisan tersebut.

Kemudian hal lain yang diangkatnya adalah bahwa pada tanggal 11 September ada juga pembaca yang protes mengenai tulisan ganda Radhar Panca Dahana. Tapi pada kesempatan itu surat pembaca dan surat penjelasan dari Radhar Panca Dahana terbit bersamaan.

Kemarin (21 Desember 2007) secara kebetulan saya membaca dua buah surat pembaca yang mempermasalahkan artikel ganda.

Satu surat saya baca di Mingguan bisnis dan investasi Kontan, Minggu ke-tiga Desember 2007. Dalam kolom surat dan opini dari Brontho Dwiatmoko (Tangerang) dipertanyakan kesamaan antara artikel "Mimpi Indah Bersama Anthurium" oleh Junaedhi yang sudah dimuat oleh Tabloid Kontan edisi khusus Oktober 2007 (serta sudah dikutip dengan mencantumkan sumber oleh website Toekang Keboen Nursery), dengan tulisan "Fenomena Anturium" pada Tabloid Tumbuh edisi 7, terbitan 5 - 19 Desember 2007 oleh seorang penulis bernama Abi. Pak Brontho ingin tahu apakah Abi dan Junaedhi adalah orang yang sama atau berbeda, dan bila ia adalah orang yang sama apakah boleh menurunkan artikel yang sama dengan nama berbeda.

Surat kedua saya temukan di harian Bisnis Indonesia, 21 Desember 2007, sebuah penjelasan tentang artikel ganda yang terbit bersamaan pada tanggal 19 Desember 2007 di dua media cetak Indonesia. Tulisan opini berjudul "Pengelolaan Surat Berharga Negara 2008" tulisan Bhimantara Widyajala (Direktur Surat Berharga Negara, dari Dirjen Pengelolaan Utang) ini bisa muncul bersamaan karena penulis yang merasa tidak memperoleh tanggapan dari editorial Kompas menarik kembali tulisannya via e-mail (18 Desember 2007, setelah menunggu kabar selama satu minggu dari 11 Desember 2007). Harian Bisnis Indonesia sedikit mempersalahkan penulis karena tidak menginformasikan bahwa sudah mengirim tulisan yang sama ke harian berbeda.

Penolakan sebuah artikel dari sebuah media cetak nasional memang sangat tergantung dari editorialnya. Dalam pengalaman saya, harian Kompas termasuk yang cukup rajin menanggapi naskah walaupun isinya adalah penolakan naskah! Tapi ada harian yang setelah berbulan-bulan tak ada kabar baru mengirimkan penolakan. Dan ada lagi yang tidak ada kabar sama sekali. Sebagai penulis terkadang nilai jual berita sangat tergantung kecepatan terbitnya naskah. Karena itu tidak heran kalau Radhar Panca Dahana dan Bhimantara Widyajala ketika merasa tidak mendapat tanggapan, langsung mengirimkan tulisan yang sama ke redaksi harian lain (setelah merasa menarik kembali tulisannya). Sebenarnya apakah ini kesalahan mereka? Bila mereka mencantumkan telah mengirimkan tulisan itu ke harian lain dan menariknya, apakah redaksi harian yang kedua akan memuatnya?

Tulisan pertama saya ke Ohmy News International adalah artikel daur ulang dari sebuah artikel yang telah beberapa minggu tidak ditanggapi oleh redaksi harian yang saya kirimi berita. Hal ini saya cantumkan pada berita kepada editor, bahwa berita tersebut sudah saya kirimkan tapi sudah saya cabut kembali via e-mail karena tidak ada tanggapan dari redaksi.

Dahulu saya sedikit berprasangka pada redaksi media cetak Indonesia. Setelah artikel yang saya tuliskan saya kirimkan, tidak ada tanggapan sama sekali. Tapi beberapa waktu kemudian tulisan sejenis muncul dengan pengolahan yang lebih mendalam dan lebih menarik. Terus terang saya merasa ide saya tercuri. Tapi setelah mengenal wikimu.com, sebuah portal jurnalisme warga, saya bisa melihat sendiri betapa pada saat yang sama bisa ada beberapa orang yang mempunyai ide tulisan yang sama.

Di wikimu hal ini lebih terasa karena editorial, yang dalam istilah Bung Berthold dalam artikel terbarunya (http://www.wikimu.com/News/DisplayNews.aspx?id=5367), menjadikan "dunia jurnalistik" yang dikenalnya menjadi "cair". Ketika Gus Wai sudah lebih dahulu menaikkan tulisannya tentang pemenang Asian Idol, tulisan saya yang masuk kemudian juga dinaikkan oleh editor. Satu hal yang sama, dari sudut pandang yang mungkin hampir sama, suatu hal mustahil bisa terjadi di media cetak konvensional.

Demikian juga di Ohmy News International, ketika saya menaikkan tulisan tentang perasaan saya sebagai warga yang gubernurnya merasa terhina oleh Australia ternyata seorang citizen reporter lain yang bermukim di Jepang sudah menaikkan pula tulisannya dari sudut pandang yang berbeda. Karena sudut pandang berbeda ini mungkin editor meloloskan kedua tulisan tersebut.

Menulis opini memang agak berbeda dengan reportase perjalanan misalnya. Bagi saya pribadi sebuah opini terkadang agak sulit untuk dituliskan kembali dengan sudut pandang berbeda. Tulisan pertama saya di Ohmy News International mengalami daur ulang yakni penambahan sudut pandang subyektif dari penulis. Ini satu ciri berbeda dari media cetak konvensional yang lebih menekankan pandangan obyektif dengan media jurnalisme partisipatori warga yang lebih personal. Media cetak konvensional saat inipun tampaknya mulai bergeser semakin personal dalam menyampaikan opini.

Setelah memperoleh kesempatan langka berkunjung ke Seoul, selain beberapa tulisan untuk Wikimu dan Ohmy News International saya juga sempat mengirimkan tulisan ke harian Jakarta Post dan Tabloid Rumah (sayang tidak online). Sudut pandang yang saya turunkan tentunya berbeda-beda walaupun tempat yang saya kunjungi adalah tempat yang sama. Tulisan saya di harian Jakarta Post memakai nama panggilan saya Retty N. Hakim, sementara tulisan saya yang berhubungan dengan arsitektur di Tabloid Rumah memakai nama KTP saya Maria Margaretta. Perbedaan nama ini memang karena dari dulu bila saya menulis tulisan yang bersifat arsitektur saya lebih suka memakai nama lengkap yang mungkin akan dikenali oleh mantan dosen saya (Biar beliau-beliau itu bangga ilmunya tidak saya buang percuma).

Sebenarnya saya sendiri agak ragu-ragu menulis calon tulisan saya ke dalam blog karena takut tiba-tiba tulisan tersebut sudah terbit di sebuah harian tanpa pernah saya ketahui sudah dibajak. Tapi dengan memiliki komunitas yang mengusung partisipatori warga, saya percaya akan banyak teman yang akan saling memberitahukan bila tiba-tiba saja tulisan kontributor di wikimu muncul dalam nama orang lain di sebuah harian ataupun di sebuah blog (tanpa mengutip asal berita dan nama penulis). Dan ketika tulisan saya tidak sempat saya kirimkan ke media cetak (karena sekarang lebih banyak mendahulukan media internet daripada media konvensional) maka portal citizen journalism maupun blog saya akan menampung tulisan saya agar suara saya ada gaungnya.

Bagaimana dengan anda? Bagaimana dengan etika pengiriman tulisan menurut pandangan redaktur profesional dari media konvensional?

toekangkeboen: Menjual Tanaman di Internet

(Dipublikasikan oleh: Pustaka Tani 17 Sept.2005)

Ketika Kurniawan Junaedhie bercerita akan menjual tanaman hias di Internet, banyak petani tanaman hias melecehkannya. “Mana ada petani main Internet dan buka Internet, kata mereka,” cerita Mas KJ, demikian biasa bapak dua anak ini disapa. Sekarang omzet toekangkeboen.com sebulan rata-rata Rp 40 juta. Pembelinya berasal dari seluruh Indonesia. Mau pesan tanaman hias klik saja http://www.toekangkeboen.com/!

Kurniawan Junaedhie, mantan wartawan, sudah lama berhobi mengoleksi tanaman hias. Ia terutama mengoleksi tanaman hias jenis Adenium dan Euphorbia, dua jenis tanaman hias yang sedang popular saat ini. “Saya punya puluhan Adenium dan belasan Euphorbia selain tanaman hias lainnya seperti Philodendron, Dracaena,” kata Junaedhie bercerita.

Mei 2004 Junaedhi ditawari oleh pemilik kios tanaman hias tempat ia biasa membeli tanaman hias untuk dikoleksi di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai (BSD), apakah berminat menyewa lahan di bursa tanaman hias. Bursa tanaman hias BSD waktu itu di dekat gedung Geman Center.

“Konsep saya simpel saja. Saya mau jual tanaman hias di Internet. Atau dengan kata lain, saya mau mempromosikan sekaligus memasarkan produk-produk saya melalui Internet. Jadilah saya membuat toekangkeboen.com,” kata pemilik situs komersil Internet indokado.com ini.

Tidak semua sependapat dengan gagasan Junaedhi menjual tanaman di Internet. Teman-temannya para petani tanaman hias melecehkannya. Ada teman ahli marketing terkenal (Junaedhie tidak bersedia menyebutkan namanya) berpendapat Junaedhie anti-marketing dan anti-logika.

Semua itu tidak menyurutkannya. Junaedhie memberi dua alasan yang membuatnya terus maju. Pertama, ia senang dengan tanaman hias, tahu dan punya produk tanaman hias. Kedua, ia tahu bagaimana berbisnis di Internet. Situs Indokado.com atau indoflorist.com adalah bukti dari keberhasilan lainnya berdagang di Internet.

Dengan modal awal sekitar Rp 25 juta, untuk sewa saung, membuat bangunan saung, dan beli tanaman awal, sekarang bisnis toekangkeboen.com sudah beraset lebih dari Rp 400 juta, belum termasuk aset fisik, dengan omzet per bulan rata-rata Rp 40 juta.

Sejak diluncurkan toekangkeboen.com, berdatanganlah pembeli-pembeli online dari luar kota, luar Pulau Jawa di seluruh Indonesia. “Yang datang ke saung saya pun kebanyakan dari luar BSD, luar Tangerang, luar kota, bahkan luar pulau,” ungkap KJ.

Sehingga sekarang KJ berani berpromosi, “Siap kirim ke seluruh Indonesia.” Dan memang, “Tiada hari tanpa pengiriman tanaman hias. Hampir setiap hari jadawal padat, begitu istilah kami.” Junaedhie dibantu oleh enam pekerja yaitu dua penjaga saungnya di BSD, dua orang bagian produksi, dan dua orang lagi bagian pengiriman.

Ketika sebelum terjadi tsunami, toekangkeboen.com mengirim ke pembelinya dari Lhokseumawe. Toekangkeboen.com, selain kota-kota di Pulau Jawa, pernah dapat pesanan dari Medan, Binjai, Tanjung Morawa sampai Luwuk di Sulawesi, dan bahkan ke Jayapura.
Sejauh ini KJ tidak kesulitan mengirim orderan. “Ke Jayapura bisa dicapai hanya dua hari saja. Lebih cepat jika pengiriman port-to-port. Maksudnya barang diambil sendiri oleh pembeli di bandara.

KJ yakin bisnis tanaman hias berprospek bagus di masa depan. “Indonesia begitu kaya floranya. Dan lahan juga banyak. Banyak tanaman-tanaman kita dibawa ke luar negeri, kemudian kembali lagi ke sini sudah menjelma menjadi hasil silangan yang mahal harganya,” ujar KJ.

“Sayangnya banyak anak-anak muda Indonesia yang justru malu menjadi petani. Susah benar mencari karyawan yang mau jadi petani. Hanya satu hari atau paling banter satu minggu, mereka keluar, dan memilih mengganggur daripada harus bekerja hanya jadi petani pula. Padahal mereka hanya tamat SLTA,” kata KJ mengeluh.*** (Harry Suryadi)

Banting Setir Alih Profesi

[Tulisan ini pernah dimuat Suara Pembaruan, 9 Okt. 2006. http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/09/Urban/urb01.htm]

Hare gene keluar dari pekerjaan? Gila. Cari kerjaan sulit, berani-beraninya keluar?" Pertanyaan seperti itu akan spontan keluar jika seseorang menyatakan diri keluar dari pekerjaan.

Memang benar. Berani keluar dari pekerjaan pada saat seperti ini bisa dibilang "gila". Bisa jadi ada yang menyebut "bunuh diri". Maklum, tingkat pengangguran saat ini menurut data Bappenas per Februari 2006 tercatat 10,4 persen.

Namun, jalan kehidupan, siapa tahu. Kurniawan Junaedhie (50) melepaskan jabatan pemimpin redaksi sebuah majalah demi menjadi "tukang kebun". Kur, panggilan akrab Kurniawan Junaedhie, sukses menjalankan usaha di bidang tanaman hias. Raden Sirait melepaskan kariernya yang sedang menanjak di Bank Central Asia demi menjadi perancang busana.

Dua orang yang disebutkan tadi hanya contoh. Namun, keduanya membuktikan diri mampu hidup di lahan baru dengan langkah mantap.

Sebagai wartawan, Kur bukanlah sembarang wartawan. Selain mampu menjejak jabatan struktural tertinggi, dari tangannya lahir tiga buku, yakni Ensiklopedi Pers Indonesia (1990), Menggebrak Dunia Wartawan (1993), dan Rahasia Dapur Majalah di Indonesia (1995).

Kur keluar dari pekerjaannya semula pada usia produktif, 44 tahun. Bukan hanya itu, ia keluar dari pekerjaannya justru ketika sedang hangat-hangatnya euforia pers. Bukan pilihan mudah, memang, tetapi ia sudah memutuskan. Ia meninggalkan "kenyamanannya" demi apa yang disebutnya suatu upaya "aktualisasi diri".

Bukan hanya atasan di perusahaan tempatnya bekerja memintanya berkali-kali mempertimbangkan kembali keinginan untuk mundur, namun juga orang-orang terdekatnya. Ayahnya di antaranya. "Tapi memang keinginan saya sudah bulat," katanya saat itu.

Kur tidak pernah merasa menyesali keputusannya. Buktinya usahanya berjualan tanaman hias yang diberi nama Toekang Keboen pun sukses. Membuka gerai di kawasan Bumi Serpong Damai, pembelinya berdatangan dari seluruh penjuru Tanah Air.

Kur memang tidak sekadar berjualan. Kemahiran mengutak-atik komputer mengantarnya mampu menjadi pedagang plus. Di samping pembeli langsung datang ke gerainya, pembeli di luar kota bisa memesan melalui situs Toekang Keboen yang buka 24 jam.

Pekerjaan sebagai wartawan disebutnya menjadi bekal berharga, karena sebagai wartawan ia belajar manajemen, belajar disiplin, belajar mengelola keuangan, dan tentu membaca karakter orang. Kur mengibaratkan lompatan kariernya dengan sederhana saja, ibarat seorang pelayan toko yang kini memiliki toko sendiri, atau seorang karyawan bengkel yang kini memiliki bengkel sendiri. Hanya saja ia tidak memilih membangun usaha media massa sendiri, namun lebih memilih mengembangkan hobinya. Sejak menjadi wartawan ia sudah gemar mengoleksi tanaman. "Kebetulan banyak yang ingin membeli koleksi saya. Hobi itu yang saya kembangkan," Kur beralasan.

Menggeluti lahan barunya, hanya satu bekalnya, bersabar dengan berguru kepada alam.

Menggapai Impian
Raden Sirait meninggalkan dunia perbankan untuk menekuni dunia barunya pada 2001. Dengan mengusung label Luire, kini orang mulai meliriknya setelah kebaya rancangannya dikenakan finalis Kontes Dangdut Indonesia, Miss Indonesia 2006, dan busana sehari-hari Puteri Indonesia 2005 Nadine Chandrawinata. Tujuh kebaya rancangannya juga dikenakan Miss Indonesia 2006 selama mengikuti ajang pemilihan Miss World di Polandia.

Gara-gara melihat tayangan televisi sejak kecil, ia terobsesi menjadi orang terkenal. Namun, hingga dewasa ia tak tahu bagaimana menggayuhnya. Yang ia jalani sejak kecil adalah terbiasa bekerja keras membantu ayahnya menghidupi keluarga dengan menerima jahitan, serta membantu ibunya mengolah sawah.

Raden memerlukan waktu panjang untuk bisa menemukan pegangan hidupnya yang mantap. Ia menemukan dunianya justru pada saat sudah bekerja di perbankan, saat menjabat manajer pemasaran.

Masa-masa itu justru menjadi pembelajaran baginya mengenai mode. Ia gemar mengamati rekan-rekan kerjanya yang menggemari mode dan busana.

Bekerja sama dengan kakaknya, Rospita Sirait, ia merintis karier di bidang mode dan busana.

Kini bukan hanya kebaya rancangannya yang dikenal, namun juga salonnya. Memang sedikit berbeda dengan Kur yang mendasari alih profesi karena perlu aktualisasi diri, Raden lebih ingin menggapai impian masa kecilnya, menjadi orang terkenal.

Tak jauh beda dengan Raden, Sylvi Francis banting setir dari bidang keuangan ke seni. Demi mengembangkan ide yang benar-benar asli hasil karyanya dari A sampai Z, pada 2002 Sylvi rela meninggalkan kariernya di Trimegah Securities. "Waktu itu jabatan saya lumayan tinggi lho, Vice President Corporate Communication di Trimegah," katanya.

Sebelumnya, 1993-1996, Sylvi bekerja untuk Harvard Institute International Development yang menjadi konsultan di Departemen Keuangan. Dari situ, Sylvi bekerja di PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) manajer di bidang corporate communication dan pengembangan teknologi informasi hingga tahun 2000. Baru setelah itu masuk Trimegah.

Kini Sylvi menekuni pekerjaan baru di bidang high fashion silk painting, yaitu melukis dengan media kain sutera yang hasilnya bisa digunakan untuk fashion. Dengan pekerjaan barunya, Sylvi bisa bebas menuangkan segala idenya secara orisinal, tanpa harus dicampur dengan ide-ide orang lain.

Hasil lukisan Sylvi di atas kain sutera bisa dijumpai di exclusive gift shop Ritz Carlton Hotel dan Four Seasons Hotel Jakarta.

Selain melukis di atas kain sutera, Sylvi juga menjadi art consultant, terutama untuk brand image suatu perusahaan. "Sebagai orang yang lama menggeluti bisnis keuangan, saya juga merancang strategi pemasaran perusahaan melalui seni atau membentuk brand image melalui seni. Hal ini belum banyak dilakukan perusahaan di Indonesia," kata Sylvi.

Kini Sylvi juga sibuk mengajar melukis dan membaca puisi di sekolah pengembangan anak, Dramschool. Ia juga membuka kursus silk painting di Kemang. "Dengan menekuni bidang baru ini, saya sekarang bisa menuangkan semua ide-ide saya. Saya benar-benar puas. Dan dari segi penghasilan juga ada peningkatan," kata Sylvi.

Selain Kur, Raden, dan Sylvi, tentu masih banyak orang lain yang telah alih profesi. Seorang konsultan sumber daya manusia menyebutkan, dibutuhkan dorongan kuat untuk alih profesi. Apalagi jika selama ini merasa karier sudah mantap. Alih profesi sangat mengandung risiko. Bukan hanya ketidakpastian, namun juga harus memulai semuanya dari awal.

Namun, bukan berarti tidak mungkin. Kur, Raden, dan Sylvi sudah memulainya. Kur bahkan secara bercanda mengatakan, ada sebelas temannya yang sudah berancang-ancang mengikuti jejaknya. [A-18/N-4/S-24]

Mulanya Adalah Hobi

[Dipublikasikan oleh Majalah Bahana, August 2007. http://www.bahana-magazine.com/?p=productsMore&iProduct=207&sName=Mulanya-Adalah-Hobi]


Siapa pun yang terkena cinta konon akan takluk pada pesonanya. Kurniawan Junaedhie contohnya. Siapa nyana dengan cinta ia dapat meraih jutaan rupiah. Kurniawan Junaedhie tidak pernah bermimpi muluk ketika memulai bisnisnya tahun 2004. Yang tak bisa ia pungkiri, setiap melihat tanaman hias, ia langsung jatuh cinta. Kecintaan ini membuatnya nekat menekuni bisnis di sektor flora. Gerai tanaman hias yang diberi nama Toekang Keboen dipusatkan di kawasan tanaman hias BSD City, Serpong. Profesi sebagai wartawan pun ditinggalkan. Padahal ia telah menekuninya kurang lebih 30 tahun. Bahkan pernah menjadi wartawan harian terbesar di Indonesia. Keinginannya sederhana. Dengan berbisnis, ia bisa lebih dekat dengan keluarga yang kerap ia tinggalkan dulu hanya demi mengejar berita.

HANYA BEKAL CINTA

Alumnus Sekolah Tinggi Publisistik (STP) ini tidak ingat betul berapa modal awalnya. Bahkan ia tidak mempersiapkan secara khusus. Tapi sejak lama ia rajin mengumpulkan tanaman hias. “Begitu kepingin, langsung buka gerai, pajang tanaman-tanaman koleksi saya.”

Hobinya ini pernah mendapat tantangan istri. “Rumah sudah kayak hutan,” begitu keluh istrinya. Namun, ia tetap bertekun. Siapa sangka, dari hobinya ini ia bisa meraup untung besar. Dalam sebulan, ia bisa menjual ribuan tanaman hias. Yang termurah sekitar Rp40.000,- sedangkan yang paling mahal berharga puluhan sampai ratusan juta rupiah. Kalau dihitung keuntungan 20% saja per bulan, bayangkan berapa rupiah uang yang masuk ke kantongnya! Pada-hal keuntungan per bulannya bisa sampai 50% dari hasil jual. Cck..cck...cck...!

Pria kelahiran 24 November 1964 tersebut menyebut tidak ada skill khusus. Cukup mencintai tanaman. Kecintaan ini yang membedakan Junaedhie dengan pedagang lain. Bagi pedagang yang hanya cari untung, tanaman adalah komoditi dan harus—setidaknya—mengalirkan rupiah keuntungan. Sebuah alamat buruk kalau tanaman tak laku. Karena itulah beberapa pedagang nekat menjual tanaman hias dengan harga murah, kalau perlu diobral. Tapi bagi Junaedhie, rumusan itu tidak berlaku. Ia tetap mencintai dan memelihara tanaman-tanaman hiasnya yang tidak laku.

Jemaat Gereja Katholik St. Laurentius, Alam Sutra, Serpong betul-betul menggeluti bisnis ini. Bahkan, ia sudah sampai tahap menikmati. “Setiap hari kalau melihat kehijauan tanaman, ada rasa damai. Tanaman yang dulu kecil, bertumbuh besar. Bibit yang dulu disemai kini tumbuh besar,” ujarnya menerawang.

Kenikmatan itu juga yang tidak membuatnya patah semangat ketika kehilangan tanaman senilai Rp100 juta lantaran dicuri. Ia juga tak putus asa sekalipun sampai sekarang belum bisa mengirim tanaman hiasnya ke luar negeri. Alasan birokrasi dan tudingan miring bahwa tanaman hias adalah biang pembawa hama semakin memperkecil kesempatan mengirim tanamannya. Telanjur cinta, ia belajar melihat arti positif lain. “Membuka lapangan kerja adalah keuntungan tersendiri. Sedikitnya saya telah ’me-ringankan beban pemerintah’ dalam mengatasi pengangguran,” tuturnya.

EMPAT PILAR KESUKSESAN

Kejujuran menempati prioritas dalam bisnis yang dilakukan Junaedhie. ”Bisnis tanaman hias adalah bisnis yang unik. Tanpa dibantu orang-orang jujur, bisnis saya akan bangkrut. Setelah kejujuran, dibutuhkan juga kerja keras, dapat dipercaya, dan menghormati pelanggan. Kami sangat keras menerapkan nilai ini,” jelasnya.

Dengan keempat modal ini Junaedhie tidak gentar bersaing. Masih segar dalam ingatannya empat tahun lalu. Saat itu belum banyak pedagang tanaman hias yang menggunakan website sebagai strategi marketing dan promosi karena dianggap peminat tanaman hias bukan user friendly dengan internet. Tapi kini sudah berubah. “Pesaing sudah banyak mengikuti jejak kami menggunakan internet. Tapi kami tetap tampil beda. Ada news update di website kami (www.toekangkeboen.com). Kami menyediakan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanaman. Karena itu kami dapat disebut sebagai one stop shopping plants and accessories.”

Sedikit memberi wejangan, ia menyarankan jangan berpikir memulai bisnis seperti buka lapak. Apalagi menja-dikan bisnis tanaman hias hanya peker-jaan sampingan. ”Bisnis yang maju harus dikelola secara total dan fokus. Sayangnya, karena hanya dianggap hobi, jadi banyak orang menjalankan bisnis sebagai hobi,” kata Junaedhie.

Kini, istrinya yang dulu tak setuju dengan hobinya pun turut kepincut. Bahkan sekarang membuka toko florist dan menjualnya sampai ke manca negara. (Rumintar Silitonga)

Sukses Mengembangkan Bisnis Nursery di Internet

[Tulisan ini dipublikasikan oleh Wirausaha.com. http://www.wirausaha.com/profil_bisnis/387-kurniawan_junaedhie__sukses_mengembangkan_bisnis_nursery_di_internet.html]

Tak seperti pebisnis tanaman hias kebanyakan yang hanya menggunakan lahan dan nursery sebagai etalase produk yang dijajakan, Kurniawan Junaedhie memilih internet sebagai etalase online melengkapi pelayanan di bagian penjualan bagi pembeli. Toko online 24 jam tersebut diberi nama toekangkeboen.com yang dimulai semenjak tahun 2004. Tentu saja ketika itu belum banyak orang yang menjalankan hal serupa. Jika pun ada, pebisnis tanaman lebih familiar dengan hanya memajang iklan baris di internet.

Justru hal yang belum biasa tersebut mendorong keyakinan pasangan Kurniawan Junaedhie dan Maria Nurani untuk memajang nursery di internet dalam sebuah website khusus sehingga siapa pun dan di mana pun berada bisa memesan dengan mudah dari penjuru Tanah Air. Bagi sebagian orang mungkin membayangkannya sebagai bisnis yang rumit. Mengirimkan pesanan tanaman ke berbagai daerah di Tanah Air. Tapi pasangan ini justru telah berhasil menjalankannya.

Memang semua tak selalu berjalan mulus. Di awal usaha, beberapa kali komplain datang dan tak jarang yag meminta ganti rugi. aklum, produk pertanian termasuk rentan untuk mengalami kerusakan dalam perjalanan. Namun belajar dari pengalaman, sambung Kurniawan, semenjak 2 tahun terakhir masalah tersebut dapat diatasi dan tidak pernah muncul lagi.

Awal order dipenuhi dengan tanaman koleksi Kurniawan. Ya, Kurniawan merupakan pencinta tanaman hias, dan suka mengoleksi. “Saya hobiis, suka mengumpulkan tanaman. Dan ketika sudah merasa overstock, akhirnya dijual,” kata Kurniawan.Pesanan yang berdatangan siap dilayani dengan pengiriman yang selalu sedia. Buka 24 jam untuk pemesanan, dan pembeli cukup menanti di tempatnya, itu lah kelebihan yang ditawarkan melalui toekangkeboen.com. Sesuai layanan yang diberikan tentu saja sasaran pasar disesuaikan. “Dari awal Kami optimistis dengan bisnis ini. Sasarannya ada para profesional muda yang sibuk dan telah biasa dengan internet,” ujar Maria.

Meskipun kini telah semakin banyak bisnis sama bermunculan, toekangkeboen menurut Junaedhie tetap punya kelebihan. Maklum, pria yang pernah berprofesi sebagai wartawan selama 25 tahun ini selalu membuat websitenya dinamis, selalu ada informasi up date, selalu aktif berjualan, bahkan menyempatkan diri menulis buku seputar bisnis tanaman hias. Dari empat buku, dua diantaranya diterbitkan pada tahun 2006 berjudul Buku Panduan Praktis Perawatan Aglaonema dan Pesona Anthurium Daun. Sementara dua buku terbaru yang akan terbit September 2007 ini berjudul Jurus Sukses Jual Tanaman Hias dan Jadi Kaya dengan Berbisnis Anthurium.

Pada awalnya Junaedhie mengakui kurang menyadari pentingnya nursery sebagai toko offline yang sama pentingnya dengan toko online. Baru di tahun yang ketiga ia membenahi toko offline, showroom tempat di mana pembeli bisa langsung berinteraksi dan memilih tanaman yang diinginkan. Alhasil, saat ini permintaan di toko online dan offline imbang, 50:50.

Semakin hari toekangkeboen.com pun semakin dikenal dan lebih banyak mendapat order. Di Awal usaha, promo di beberapa tempat seperti pada yahoo, google pernah dilewati. Dalam perjalanan kemudian toekangkeboen juga sering dibahas di berbagai media. Alhasil dengan perkembangannya, hingga saat ini menurut Maria, toekangkeboen.com bisa meraih omset hingga Rp100 juta per bulan. Bicara keuntungan, Kurniawan mengatakan bisnis tanaman biasa mengumpulkan keuntungan minmal 20% dari omset.

Peluang Waralaba

Bicara soal bisnis ke depan, Kurniawan masih punya beberapa obsesi. Diantaranya lebih mengembangkan usaha sehingga lebih banyak menampung tenaga kerja. Saat ini menurutnya, ada 7 karyawan yang ada di showroom dan 4 orang di kebun. Itu baru karyawan tetap. Selain itu keinginan untuk mewaralabakan toekangkeboen.com tengah berusaha ia diwujudkan. Kami sedang buat sistemnya. Tapi saat ini beberapa pecobaan telah dijalankan, diantaranya di Lampung dan Purwokerto, dengan nama yang sama, barang disediakan. Targetnya, franchise toekangkeboen.com akan dimulai pada tahun 2008.

Usaha ini dirintis pertama kali dalam bentuk showroom seluas 1 (satu) kavling di Bursa Tanaman Hias BSD City, berlokasi di samping kawasan German Centre, BSD, yang kini menjadi Pusat Hiburan Keluarga Ocean Park.

Belum genap setahun menempati kompleks tersebut, tepatnya Februari 2006, gerai toekangkeboen 'dipindahkan' ke tempat baru, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Pusat Tanaman Hias BSD CITY, persisnya pada Mei 2006, nursery lebih luas, menempati dua kavling dengan total luas 500 meter persegi, yang kemudian beberapa bulan berikutnya menambah 1 kavling baru sehingga menempati 3 kav dengan luas total 750 meter persegi. (SH)

Showroom dan Nursery:
Kav. 16, 17 & 18 Pusat Tanaman Hias BSD City
Serpong, Tangerang, 15322

Mimpi Indah Bersama Anthurium

(Tulisan ini pernah dimuat di Tablod KONTAN Edisi Khusus, Oktober - November 2007

Sudah hampir setengah tahun ini, pesona anthurium berhasil memelet orang Indonesia. Coba Anda tanya secara random pada semua pedagang tanaman, tanaman apa yang kini banyak diburu orang. Jawabnya tentu: anthurium mulu, seperti tidak ada tanaman hias keren lainnya. Apa sih hebatnya tanaman yang mirip talas ini?

Tapi memang baru tahun ini terjadi, pemain burung walet dan pengumpul cengkih 'berselingkuh' dengan anthurium. Banyak pula juragan-juragan yang mata bisnisnya tadinya tak ada urusannya dengan tumbuh-tumbuhan, --seperti pengusaha bus, supermarket, bahan bangunan, kontraktor, perusahaan bakery atau pabrik sepatu--, kini juga mulai sibuk bermain anthurium.

Orang kantoran yang terlanjur ikutan berbisnis anthurium, juga mulai pada gelisah. Banyak di antara mereka, sudah ngebet kepengen segera pensiun dini. Maklum, gaji mereka ‘cuma’Rp.10 juta per bulan, sementara dari menjual satu pot anthurium mereka bisa menyabet untung sampai 20 juta.

OKB atau Orang Kaya Baru juga banyak. Ada petani kecil yang berhasil membeli Honda Jazz dari jualan anthurium. Banyak juga ibu rumahtangga yang tiba-tiba merasa jagoan dari suaminya karena berhasil memiliki sebuah kulkas empat pintu atau TV plasma baru hasil barteran dengan anthurium miliknya yang sudah nyaris diberikan pada pemulung.

Serunya, bisnis anthurium terbuka bagi siapa saja. Selain ibu rumah tangga dan bapak-bapak investor, kini banyak juga sopir truk, sopir bajay, tukang ojeg sampai porter bandara yang ikut jadi pelaku bisnisnya.

Begitu hebatnya pamor anthurium, belakangan ini juga banyak melahirkan importir-importir anthurium dadakan. Sohib Thailand saya di Bangkok lapor, banyak pemilik nursery dari Indonesia yang kedapatan keluyuran ke segala pelosok negeri Gajah itu untuk berburu anthurium. Wah, kita jadi bangga, karena orang Indonesia di Thailand ternyata termasuk pembeli anthurium VIP. Artinya, asal ada barang, berani bayar mahal. Jika di Thailand barang kosong, maka mereka tak sungkan-sungkan lompat ke Filipina. Pendeknya jangan sampai pulang dengan tangan hampa. Gengsi dong. Karena yang berharap mendapat barang di tanah air sudah banyak.

Yang menarik untuk dicatat, banyak pula bakul tanaman yang sebelumnya mengklaim diri sebagai spesialis penjual tanaman hias tertentu kini tanpa malu-malu banting setir ikut jualan anthurium. Banyak Alibaba Orchids mendadak menjadi Alibaba Nursery. Dan yang tadinya sering disebut sebagai pakar dan suka diundang berdemo, juri atau berceramah tentang adenium, aglaonema, atau anggrek, juga sudah mulai beralih profesi berbisnis anthurium, baik secara terang-terangan atau umpet-umpetan. Pendeknya, berantakan deh.

Ujung-ujungnya harga anthurium bak harga indeks saham. Berloncat-loncatan kian kemari. Fluktuatif. Saban hari hamper selalu ada SMS masuk, menawarkan anthurium, atau mengabarkan harga biji naik dan seterusnya. Harga hari ini, rupanya bisa berbeda dengan harga besok, apalagi harga kemarin.Kini lazim orang menawar tanaman hias daun itu dengan cuma menyebut merek mobil. Maksudnya, harganya sesuai dengan harga mobil yangd isebut. Mobil yang paling populer dijadikan patokan misalnya, Avanza, atau Inova dari berbagai tipe., meskipun kadang-kadang terkesan gagah-gagahan belaka.

Batasan end user, konsumen atau kolektor pun pupus sudah. Karena pada dasarnya mereka semua kini kepengen jadi investor. Beli satu pot kecil kecambah saja, para pemula sudah bermimpi akan kaya mendadak.

Para maling tentu saja ingin kaya mendadak juga dong. Akibatnya mereka semakin over acting. Semua tanaman asal dianggap anthurium, pasti digasak. Bagi maling rupanya anthurium jernis apa saja dianggap mahal sehingga mereka lebih senang menggondol tanaman ini daripada menggondol Yamaha Mio, misalnya. Celakanya, berita kriminalitas ini sering tidak pernah dimuat di media massa, karena mungkin sudah terlalu rutin terjadi. Yang mendapat berkah dari maraknya eforia Anthurium banyak juga. Ada penjual pakis yang jadi media tanam utama anthurium, produsen atau penjual pot jumbo, penerbit atau pengarang buku panduan merawat anthurium, dan sejenisnya. Pendeknya, anthurium membawa berkah bagi semua. Termasuk untuk rakyat.

Di Jawa Tengah muncul istilah ‘ekonomi kerakyatan’ segala. Hebat ya? Yang dimaksud, para juragan atau investor membagi-bagikan benih atau tanaman induk kepada rakyat sekitar melalui sistem plasma. Bisa cuma-cuma, bisa dibagi dengan harga murah dibanding harga pasar. Tujuan sebenarnya supaya maling tidak berkeliaran, beaya centeng bisa ditekan, karena warga bisa berbisnis pula. Tapi tanpa disadari cara itu membuat ekonomi di kawasan itu bangkit dengan sendirinya. Ada uang jutaan menggelontor masuk ke pedesaan. Muncul kepentingan bersama, menjaga stabilitas keamanan, sekaligus menjaga pamor anthurium.

Para penguasa daerah yang smart kini rajin bikin pameran sebagai ajang promosi sekaligus marketing anthurium. Hasilnya luar biasa. Kota Wonogiri yang notabene pernah disebut daerah minus, mendapat ‘devisa’ lumayan ketika menyelenggarakan pameran anthurium karena banyak orang kaya di daerah itu datang ke sana untuk membelanjakan uangnya. Tak hanya di Jawa. Di Samarinda hal yang sama terjadi juga. Ketika mengadakan pameran bulan lalu, pak wali dan pak camat merasa gembira, karena daerahnya mendapat masukan ‘devisa’ dari daerah-daerah di sekitarnya. Saking bangganya, para pejabat itu berambisi menjadikan kota kayu itu sebagai tujuan wisata agro.

Tak pelak lagi, kita tengah dihanyut mimpi indah bersama anthurium yang kini sudah terlanjur dijuluki Si Raja Daun. Sudah muncul anggapan, jika ingin kaya secara instant, berbisnislah anthurium. Sedikitnya jika ingin dianggap kaya, beli dan peliharalah anthurium. Seperti emas dan berlian, anthurium mendadak sontak menjelma menjadi perhiasan sekaligus barang investasi.

Selama enam bulan terakhir ini, harga anthurium memang gila-gilaan. Harga biji anthurium jenmanii, misalnya, bergerak naik secara spektakuler: dari hanya Rp. 35rb, Rp. 135 rb, kini saat tulisan ini dibuat sudah mencapai Rp. 250rb per biji. Kalau disemai, dan jadi kecambah sudah dihargai Rp. 300rb. Kalau sudah tumbuh dua daun harganya naik lagi jadi Rp.450rb.

Apa artinya? Artinya dahsyat. Jika Anda punya satu anthurium bertongkol satu, dengan asumsi tongkol atau spadix itu memuat 1000 biji saja, Anda sudah bisa bermimpi jadi menjadi milyarder dadakan, apalagi kalau anthurium Anda bertongkol 5 buah.

Di Karangpandan, Solo, ada penjual anthurium, --untuk merayu pembelinya-- menyebut anthurium sebagai ‘pabrik uang’, yang “pemiliknya tidak perlu takut digerebek dan dituduh subversif.

Coba bisnis macam apa di zaman sekarang, yang dalam tempo tidak berapa lama kita bisa meraup untung sedemikian lumayan?

Tapi sekali lagi itu teori, Bung.

Demam anthurium Wave of Love atau Gelombang Cinta beberapa pekan lalu, jadi contoh. Selama September harga jenis anthurium berdaun keriting tebal yang populasinya dikenal banyak karena banyak dimiliki rakyat itu tiba-tiba bergolak. Dari harga Rp. 5 juta, mencapai harga Rp. 90 juta untuk jenis indukannya. Tapi tak sampai sebulan, harga itu tahu-tahu merosot tajam. Ada yang menduga, para pemainnya kurang bermain cantik. Maklum, berbeda dengan pemain Jenmanii yang umumnya para cukong, pemain Wave of Love adalah kelas menengah bawah. Tentu saja mereka sangat rentan terhadap lebaran, anak-anak sekolah, atau libur akhir tahun. Sadar lebaran mendekat, biji dan bibitan diobral. Harga hancur lebur.

Ada yang cerita, --mudah-mudahan hanya kabar burung-- di sebuah daerah pinggiran di Jakarta, ada orang bunuh diri gara-gara ‘kalah’ main anthurium Wave of Love. Dia melego dua mobilnya untuk membeli satu pot anthurium dengan harapan bisa membeli empat mobil, tahu-tahu harga melesak jatuh.

Pertanyaan klise: sampai kapan orang siuman dari mimpinya? Orang yang bermimpi mana tahu, kapan bakal siuman, itu jawabannya. Selamat bermimpi.***

Kurniawan Junaedhie*)
Praktisi tanaman hias & pengarang buku2 Anthurium

Jumat, 08 Mei 2009

Kesurupan Anthurium

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah TRUBUS EDISI OKT. 2007)

SUNGGUH edan anthurium. Sepanjang ‘karier’ saya sebagai pecinta tanaman hias, mungkin baru sekali ini ada tanaman hias daun berharga aduhai. Saat tulisan ini dibuat, misalnya, harga selembar daun Anthurium Kobra selebar piring makan dikabarkan sudah dihitung Rp. 15jt per daun. Kalau gosip itu benar, maka patah sudah rekor yang dipatok Aglaonema Harlequeen yang sebelumnya pernah dinilai Rp. 11 juta per daun dan sempat menjadi berita heboh di SMS pada zamannya.

Gejala aneh itu sebetulnya sudah mulai terendus sejak Mei tahun ini, ketika tanpa diduga, pamor Anthurium tiba-tiba mencorong lagi. Padahal, pamor itu sudah meredup, sejak akhir tahun lalu, saat kita sibuk menghadapi Hari Idul Fitri dan kesibukan anak sekolah dan tutup tahun.

Yang menarik, demam puber kedua ini tampaknya jauh lebih dahsyat. Sejak Mei hingga awal Juli saja, perburuan Anthurium hampir terjadi setiap hari secara intensif. Ditaksir ratusan anthurium jenmanii telah eksodus dari Jabodetabek ke kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dan dalam kurun yang sama pula, harga anthurium indukan meroket pesat tak terkendali. Naik dari hanya Rp. 5 jt di awal Mei menjadi Rp. 25 jt. per pohon sampai catatan ini ditulis di pertengahan Juli.

Dan sampai catatan ini ditulis, di wilayah Jabodetabek, Medan, dan sebagian kota di Jawa Barat, --yang selama ini dikenal sebagai sentra-sentra anthurium-- sudah mulai sulit ditemukan lagi anthurium-anthurium jenis indukan, akibat demand dan supply yang tak seimbang. Kalau pun ada, harga sudah di luar common sense.

Tak kurang dari Dr. Purbo yang notabene dikenal sebagai pemain aglaonema menasehati agar kita menahan diri di tengah situasi anomali ini. Dia menyebut fenomena tanaman daun yang warnanya kebanyakan hijau melulu itu saat ini sebagai fenomena irasional alias tidak waras.

Dalam saat yang sama, jalur perdagangan tradisional tanaman ini juga ikut-ikutan bergeser. Anggapan lama bahwa anthurium kelas indukan biasanya ‘diangkut’ dari Barat ke Timur, ternyata tidak berlaku lagi. Karena nyatanya banyak juga anthurium besar-besar juga mulai ‘diangkut’ dari Timur ke Barat. Demikian juga jalur bisnis tradisional anthurium anakan atau bibitan ikut bergeser. Para pemburu anthurium di daerah-daerah di Jawa –utamanya Solo, Karangpadan dan sekitarnya-- yang dikenal luas sebagai pemasok anthurium jenis bibitan, nyatanya belakangan juga mulai mengambil dari dari sejawatnya yang tinggal di wilayah Barat.

Sentra-sentra anthurium pun ikut berubah. Dulu Solo dan sekitarnya suka disebut “ibukota” Anthurium, tapi saat ini sudah banyak kota-kota lain yang ingin memiliki ‘otonomi khusus’, sebutlah sejumlah kota kecil di Jawa Tengah bagian Barat dan Utara, atau sejumlah kota di Jawa Timur. Sang primadona juga bukan lagi Jenmanii yang sudah tidak terjangkau harga dan barangnya.

Kini ada incaran baru: yaitu Hookeri, Garuda atau Wave of Love yang secara taxotomis juga menyimpan banyak bentuk dan tampilan daun aneh.

Fenomena lain yang tak kalah seru, adalah soal banyaknya jenis-jenis atau nama-nama baru anthurium. Saya pernah menulis di sebuah website, bahwa anthurium jenis jenmanii dewasa ini sudah ada ratusan nama. Jenmanii tidak cuma dikenal dengan nama Centhong, Jati, Sawi atau Golok. Yang Sawi saja sudah dibedakan lagi dengan Sawi Ijo, Sawi Caisim, dan Sawi Bakso. Tak terhitung lagi nama-nama baru untuk anthurium-anthurium jenis hibrida atau hasil silangan.

Silangan Jenmanii dengan Wave of Love disebut Jenwave, sedang silangan Jenmanii dengan Keris disebut Jeker. Ada pula nama-nama baru seperti Anthurium Jenmanii Supernova, Inova, Pluto atau Superboy. Seorang teman terkekeh-kekeh, “Jangan-jangan Jenmani Superboy itu kalau gede dan jadi indukan nantinya diberi nama Anthurium Superman,” katanya. Belakangan saya juga diberitahu ada Anthurium Tulang Ikan, Api PON (Pekan Olahraga Nasional), Sunita, Ratu Sirikit dan Big Mama.

Alhasil, nama-nama Anthurium kini memang seperti pasar malam. Hobiis, kolektor, penulis buku, pedagang, trader atau brooker juga bisa jadi pesulap. Anthurium Raffles bisa jadi Bird’s Nest. Kalau memang mirip, dengan senang hati diberi nama Anthurium Kobra KW1, Anthurium King Kobra, Anthurium Green Kobra, atau Anthurium Super Kobra. Pendeknya, lain ladang lain ikannya, lain pemilik lain namanya.

Kalangan end user ikut latah. Banyak hobiis yang tadinya sudah memiliki Black Beauty penasaran kepengin memiliki Black Velvet atau Black Burgundi. Yang tadinya punya Anthurium Naga, penasaran memiliki Anthurium Kulit Naga dan Perut Naga. Yang punya Anthurium Naga saja masih penasaran mencari Anthurium Dragon yang konon bukan terjemahan Naga.

Pantas orang-orang Thailand bengong. Mereka rupanya memang tidak siap melihat akselarasi anthurium yang sedang terjadi di Indonesia. Secara terus terang mereka mengaku dalam soal tanaman satu ini mereka merasa harus belajar banyak pada kita. Seorang penangkar di pinggiran Thailand yang selama ini getol memasok aglaonema menyebut negara kita sebagai negara seribu anthurium. Nyatanya hasil fabrikan mereka, berupa anthurium Hookeri Merah (atau yang biasa disebut di sini dengan sebutan Hokmer), Hookeri Hijau atau yang biasa disebut di sini dengan sebutan keren Green Hookeri atau anthurium Reinasong juga laris manis.

Waktu pertama kali masuk tahun lalu, harga Hokmer ‘bikinan’ Thailand cuma laku Rp. 60rb per pohon dan Hookeri Hijau setinggi 30 cm cuma laku Rp. 20rb per pohon. Itu pun diolok-olok. Tapi kini para juragan di Bangkok bisa petentengan. Mereka pasang harga seenaknya, dan kita mau juga membelinya dengan harga Rp. 350rb per pohon.

Jangankan orang di negara gajah putih, orang kita saja bingung. Orang-orang Indonesia yang suka ulang-alik naik pesawat terbang ke Thailand, mengaku tiba-tiba merasa jetlag melihat fenomena yang terjadi saat ini.

Yang pasti, kini sudah muncul konsumen anthurium baru yaitu mereka yang membeli harga dan kelompok yang membeli nama.

Kelompok pertama adalah para followers yang suka ikut-ikutan trend anthurium dengan membeli bibitan. Namun ketika harga kecambah Jenmanii 2 -3 daun naik dari Rp. 100 rb, menjadi Rp. 150rb, mereka langsung melupakannya. Sedang kelompok kedua adalah mereka yang sibuk membeli anthurium-anthurium dengan nama baru, meski kadangkala belakangan mereka baru menyadari bahwa tanaman itu tidak ada bedanya dengan koleksi sebelumnya.

Belakangan saja ada pergeseran minat. Anthurium bertongkol laris manis diuber-uber. Ini menunjukkan pembeli anthurium makin pintar. Semua ingin jadi investor. Harga jual dan harga beli semua dihitung dari berapa panjang tongkol, dan berapa jumlah biji yang dihasilkan. Roset tidaknya tanaman, atau banyak-sedikitnya jumlah daun kini dianggap tidak terlalu penting.

Masyarakat pun mulai merasa pandai menebak. Kalau Jenmanii mahal, mereka memburu Hookeri. Kalau Hookeri sulit didapat dan harga mulai melejit, mereka pindah ke Gelombang Cinta. Kalau Gelombang Cinta juga sudah susah dicari, mereka sudah ancang-ancang mengincar Garuda, Corong, Keris, Dasi…

Kalau main tebak-tebakan semacam ini benar, kita mungkin bisa tidur nyenyak. Dan saat bangun, bank di-rush, harta benda dilego, semua uang ditanam untuk anthurium.

Tapi nyatanya, masih ada saja orang yang menjual, dan anehnya tetap saja ada yang mau membeli dengan harga mahal. Ini menunjukkan orang masih gelisah takut kelamaan memegang bola panas. Di tengah kegelisahan itu, kita pun sibuk menduga-duga. Jangan-jangan sedang terjadi money laudring (praktik cuci uang).

Ada juga yang mensinyalir, jangan-jangan ada permainan tingkat tinggi di sini. Anthurium diborong, tapi diam-diam diekspor ke Thailand, biar orang Indonesia membeli dengan harga mahal di sana lalu mengimpornya lagi ke tanah air. Snowballing effect, itulah kondisi yang sedang kita alami, kata penganut kepercayaan tersebut. Kalau saya boleh juga jadi tukang ramal, maka Anthurium-anthurium indukan, besar kemungkinan akan tetap memiliki value tinggi, akibat supply yang minim.

Anthurium ukuran anakan, atau remaja bisa jadi akan jadi komoditi generasi anthurium berikutnya, apalagi ada berita, sebentar lagi akan ada panen raya anthurium. Masalahnya apakah ‘fenomena kesurupan’ itu masih akan berlangsung lama?

Tenang saja. Kalau pun di suatu hari nanti pamor tanaman daun ini merosot, sepanjang kita mau belajar dari sejarah, harga biasanya tidak harus langsung terjun bebas ke bumi. Yang sudah jelas, kini kita memperoleh pelajaran, bahwa tanaman yang suka menyita lahan sempit kita itu, kalau kita rawat baik-baik, akan mendatangkan berkah juga.***

Kurniawan Junaedhie
Wartawan & Praktisi tanaman hias