Minggu, 15 November 2009

Menunggu Jagoan Baru

Sejak akhir tahun lalu, bisnis tanaman hias lesu, letoy dan memble. HP saya setiap hari penuh dengan pesan singkat berisi keluh-kesah dari teman-teman dari Sabang sampai Merauke. Tak sedikit yang putus asa dan bertanya: Apa tanaman masih punya prospek sebagai bisnis? Bahkan ada sejawat, saking kesalnya dicekam rasa sepi, mau melego tanah, greenhouse beserta tanamannya.

Saya kira ada banyak faktor yang membuatnya.

Faktor pertama, tentu saja, situasi perekonomian. Survei yang dilakukan Bank Indonesia menemukan, bahwa Indeks Keyakinan Konsumen di bulan Januari 2008 merosot jauh dan ini tercatat merupakan posisi terendah sejak sembilan bulan terakhir (Kontan, 13 Feb. 2008). Apa maknanya? Hasil survei itu mengindikasikan, orang Indonesia semakin pesimistis dengan kondisi ekonomi saat ini. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok membuat prospek ekonomi nasional menjadi tak menentu.

Faktor kedua, ialah cuaca. Hujan turun terus-menerus di berbagai daerah. Kalau tidak banjir, gempa bumi, tanah longsor, ombak atau air laut yang naik pasang. Ini memang force majeur. Tak bisa diprediksi, tak bisa disesali. BMG menyebutnya sebagai anomali cuaca akibat Global Warming.

Banyak yang tidak sadar, dunia tanaman hias juga sedang mengalami situasi yang disebut anomali orientasi. Setelah Anthurium turun panggung, kita merindukan jagoan baru. Persis seperti yang terjadi setahun sebelumnya, saat aglaonema tak lagi dicari, kita linglung seakan kehilangan tokoh idola. Yang menarik, entah kebetulan atau tidak, para jagoan itu biasanya turun panggung memilih moment sensitif: pada akhir dan awal tahun. Hanya tahun ini, banyak orang bilang, waktunya berlangsung terlalu lama.

Sebetulnya sudah banyak yang melakukan ice breaking dengan mencoba mengatasi situasi stagnan ini. Misalnya, mencoba mengintroduksi superhero baru berupa tanaman-tanaman alternatif sebagaimana tahun lalu, melahirkan Pachypodium, Adenium Bonsai, Sansevieria dan Puring impor.

Menjelang tahun 2008, tanaman Senthe sempat ditawarkan lengkap dengan ‘cerita’ di baliknya. Misalnya, tanaman itu bagus untuk mengusir setan atau menghalau pengaruh black magic dan sebagainya

Ada juga upaya mencoba menyodorkan alternatif lain seperti Pakis Monyet, tanaman yang bentuk dan bulunya mirip seekor monyet itu. Supaya keren, tanaman itu juga dilumuri aneka mitos. Misalnya, Pakis Monyet atau juga disebut Pakis Hanoman itu adalah tanaman kesukaan Sun Go Khong, tokoh kera dalam mitologi klasik Cina. Lalu Sanse dan seterusnya.

Banyak orang bertanya; apa tanaman baru yang bakal ngetrend di tahun 2008 Maksudnya, apa atau siapa jagoan baru mendatang? Saya kira, kosa tanaman hias sejak dulu ya itu-itu saja. Yang ada siklus tanaman. Misal, tanaman lama, yang dulu tidak diperhitungkan, tiba-tiba muncul, diburu orang, dan bisa dijual dengan harga mantap. Coba siapa sangka Anthurium bakal berharga jutaan padahal tahun-tahun sebelumnya disepak-sepak?

Terus ada yang bilang, supaya tanaman itu ngetrend, dan jadi jagoan, harga tanaman itu harus bagus. Dan supaya harga bagus maka tanaman itu harus sedikit populasinya. Kalau populasinya banyak orang sudah pasti enggan memburu.

Rekayasa Populasi

Kalau mau repot, sebetulnya ada cara klasik tapi jitu untuk menciptakan superhero baru. Yakni, melakukan rekayasa populasi, dengan cara menguasai atau memonopoli peradarannya. Sikat habis barang yang beredar di pasaran lalu secara pelahan-pelahan, dan sedikit demi sedikit digelontorkan ke pasar dengan harga semakin meningkat.

Beberapa tahun lalu, Adelia, aglo hibrida silangan Greg Hambali (biasa disebut aglo-aglo lokal) sempat di’habisi’. Alih-alih tanaman itu jadi dilupakan orang dan tidak laku, eh tanaman tersebut malah menjadi incaran orang. Kalau ingatan kita masih jernih, saat itu perimbangan supply dan demand sempat terguncang. Pedagang penasaran, ujungnya juga end users ikut kalap, sibuk berburu, membeli berapa pun harganya, kuatir harga naik lagi. Persis saat orang kesurupan Anthurium belum lama berselang.

Kata sahibul hikayat, ada sejumlah actor intelectual di belakangnya. Merekalah yang menghabisi, dan yang kemudian melepasnya ke pasaran dalam jumlah terkendali. Maksudnya, menjaga populasi agar harga meningkat. Harga Adelia pun dengan cepat merambat naik, dari cuma Rp. 90rb, merambat menjadi Rp. 125ribu sampai kemudian sempat mencapai Rp. 600rb per helai daunnya.

Euphoria Adelia, tak syak mendongkrak pamor aglo-aglo Greg lainnya. Harga Tiara sempat dihargai Rp. 3 juta, Widuri dihargai Rp. 5 juta, dan Hot Lady dihargai sampai Rp 6 juta per daunnya.. Heran juga, waktu itu saya rela membeli anakan Hot Lady 3 daun hasil splitan, seharga Rp.17,5 juta per pot. Lupa-lupa ingat, pasti waktu itu saya berpendapat, belum trendy kalau tidak punya aglo-aglo Greg Hambali.

Aglo-aglo lokal pun bersimaharajalela di pasaran. Harga memang naik, tapi populasinya juga tak terkendali. Apesnya, di saat itu, para actor intelectual mulai menyapih pasar. Mereka menjual dengan harga tinggi tapi tak kunjung membeli kembali. Mekanisme pasar akhirnya yang bekerja secara alamiah. Harga pun anjlok karena tidak ada ‘badan penyangga’ lagi di sana. Saya kaget campur haru, belum lama ini membaca ada sebuah nursery menawarkan harga sehelai daun Adelia ‘hanya’ Rp. 100rb per helai daunnya. (LangitLangit.com, 24 Jan. 2008).

Belajar Sampai Negeri Cina

Belakangan ini, harga anthurium juga dikhabarkan semakin hari semakin merosot. Di milis atau di forum diskusi, penurunan harga itu dibilang sebagai “koreksi harga” atau “harga terkoreksi”. Makna semantik dari kata-kata itu adalah bahwa harga yang dulu salah, dan karena sudah dikoreksi, harga yang sekarang dianggap benar. Tapi apa itu anggapan correct (benar)?

Ada cerita menarik. Ketika pertama dimunculkan, harga Senthe Wulung mencapai Rp. 250rb. Banyak pedagang memborong karena beranggapan, tanaman mirip talas ini bakal menjadi jagoan baru. Tahu-tahu orang sudah menjual dengan harga lebih murah. Dan mendadak sontak tanaman ini ada di mana-mana. Baru tahu kita, populasinya banyak. Tanaman ini bukan tanaman asing untuk masyarakat Indonesia. Senthe termasuk keluarga Caladium. Di beberapa daerah tanaman yang bikin gatal itu biasa untuk pakan kambing atau ikan gurame.

Kasus hampir sama terjadi pada Pakis Monyet tadi. Waktu pertama keluar, harga satu potnya dihargai Rp. 250rb. Tapi hanya dalam hitungan bulan, harganya memble. Belakangan ketahuan, tanaman itu mudah diambil dari hutan-hutan di Palembang.

Jadi harga yang turun ternyata bukannya membuat orang datang memborong, tetapi malah membuat orang semakin takut membelinya. End users dan pedagang takut, kalau-kalau harga nanti bakal merosot lagi. Saya kira justru logika kita yang harus dikoreksi: Tidak benar harga anthurium atau aglaonema yang semakin murah, membuat orang berduyun-duyun membelinya tapi justru membuat orang lari tunggang-langgang menjauhinya.

Ada yang sinis, itulah memang tabiat jagoan kandang. Tidak kuat nyali. Lebaran masih dua minggu, harga sudah dibanting-banting. Jagoan baru yang kita mau tentu harus tahan banting dan tidak cemen. Indikasinya bisa dilihat di meja-meja para pedagang. Kenapa?

Pertama, pedagang tanaman (biasanya) tidak pernah pro-end user tapi lebih pro-kantong sendiri. Dia bukan memikirkan murah atau mahal. Tetapi mana yang bisa dijual dan menguntungkan. Kalau tanaman itu tidak bisa dijual apalagi tidak menjanjikan keuntungan, mereka tentu akan malas memasarkannya.

Kedua, pedagang juga butuh kepastian. Kalau harga tidak pasti, mereka pasti ogah membeli dan menjual nya. Padahal kenyataannya, tidak hanya harga, untuk tanaman-tanaman yang kita jagokan pasokannya saja sering-sering tidak pasti.

Dari pengamatan saya singgah ke beberapa daerah baik di Pulau Jawa maupun di Luar P. Jawa selama awal tahun ini, hasilnya memang agak pahit.

Kalau tanaman impor lebih berjaya, pasti bukan salah bunda mengandung. Tanaman-tanaman impor punya kalkulasi bisnis yang jelas. Ada komponen harga yang pasti, seperti bea cukai, beaya karantina, pajak impor, ongkos cargo dan lain-lain yang membuat harga tanaman memiliki harga standar dan tidak bisa dibuat seenak udel.

Repotnya kalau kita bilang “impor”, rasa nasionalisme kita langsung bangkit. Kita lalu menyerang anthurium impor, aglo impor, pepaya impor dan barang-barang impor lainnya dengan membabi buta dan menyebar fitnah keji. Padahal, sudah sejak dulu kita dianjurkan belajar sampai ke negeri Cina. Mestinya kalau suasana tahun baru masih sepi, ya, sabarlah. Kita tidak sendiri.***

Serpong, medio Februari 2008
Kurniawan Junaedhie, pecinta tanaman hias

*) Artikel ini ditulis khusus untuk LangitLangit.Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar