Minggu, 15 November 2009

Terpenjara Masa Lalu

Oleh Kurniawan Junaedhie

Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.

Fenomena Kesurupan

Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.

Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.

Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”

Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.

Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.

Jumlah Nurseri Naik 700 Persen

Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.

Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.

Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.

Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.

Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)

Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.

Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?

Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?

Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.

Selalu Optimis

Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?

Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.

Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.

Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.

Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.

Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.

Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***

Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar