Senin, 16 November 2009

Tukang Kebun Profesional

Popularitas dan eksistensinya di jagad jurnalistik nasional rela dia tinggalkan, hanya untuk menjalani profesi pedagang tanaman hias. Tapi, terobosan pemasaran yang dilakukannya melalui internet membuatnya meraih sukses.

MENJEJAK struktural tertinggi dalam sebuah pekerjaan, merupakan suatu hal yang didambakan kebanyakan orang. Namun tak sedikit pula yang akhirnya memilih hengkang demi menyelami kehidupan yang ‘lebih baru’ dan menantang dengan menjadi usahawan. Inilah yang dilakukan Kurniawan Junaedhie.

Ya, siapa yang tak mengenal lelaki yang satu ini dalam jagat dunia jurnalis dan kalangan penulis. Namanya tak asing sejak puluhan tahun silam, sebagai seorang wartawan dan penulis. Selain mampu meraih pucuk pimpinan, Kurniawan juga mampu melahirkan judul-judul buku yang ditulisnya dengan segenap hati.

Namun lelaki murah senyum ini akhirnya meninggalkan pekerjaannya demi menjajal dan menjajak sesuatu yang asing baginya, yakni menjalani usaha berjualan tanaman hias sejak 2005 lalu. “Memang kala itu, banyak yang berusaha menahan saya untuk tetap tinggal dan bergelut di media, tapi niat dan tekad saya sudah bulat untuk mengaruhi hidup baru,” urai Kurniawan kepada Berita Kota, Sabtu (8/8).

Berbekal hobi mengurus dan mengoleksi tanaman hias, Kurniawan makin yakin hidupnya bisa berkembang dengan berjualan di bidang yang masih sedikit orang menggelutinya. Saat memutuskan menjadi pedagang tanaman hias di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang dengan label “Toekang Keboen”, Kurniawan tak hanya sekadar berjualan secara konvensional. Usahanya pun dikelola dengan sistem manajemen.

Dibantu sang istri, Kurniawan berusaha melakukan berbagai hal yang tak biasa dilakukan pedagang tanaman hias lainnya. Untuk memasarkan produk-produk unggulan tanaman hiasnya, Kurniawan tak hanya menerima kunjungan pembeli langsung ke lokasi, tapi juga melebarkan sayap dengan menjual via internet.

Hasilnya? Hampir dari seluruh penjuru Tanah Air sudah mengenal Toekang Keboen dan memesan aneka tanaman hias, baik yang dijual regular ataupun dijual dengan harga promosi dan lelang. Saban hari, Kurniawan selalu meng-update website-nya agar pembeli di dunia maya bisa terus melihat perkembangan harga-harga tanaman hias yang ditawarkan. Walaupun dijual lewat internet, namun Kurniawan selalu mengutamakan kualitas tanaman, sehingga pembeli tak kecewa saat menerima kiriman tanaman yang dipesannya. Dengan basis utama “Kepercayaan dan Bisa Dipercaya”, membuat usahanya berkembang pesat. Bahkan untuk memenuhi permintaan pelanggannya, sejak 2006 Toekang Keboen membuat toko pupuk, obat-obatan tanaman, serta toko buku dan majalah seputar pertanian. NAOMY

Dimuat Berita Kota Senin, 10 Agustus 2009 00:00

Minggu, 15 November 2009

Terpenjara Masa Lalu

Oleh Kurniawan Junaedhie

Masih segar dalam ingatan, setahun lalu, kita semua, mengalami eforia luar biasa. Pamor anthurium melesat bak meteor. Orang mengalami apa yang disebut sebagai gegar budaya yang membuat struktur otak di kepala jadi jungkir balik. Mengeja angka 100 juta, dan uang Rp. 1 milyar seperti gula-gula saja meski tidak tahu berapa jumlah nol-nya. Kalau kalau ditawari motor harga 10 juta kita terperanjat tapi kalau ada tanaman dihargai Rp. 30 juta sampai Rp. 75 juta, dianggap biasa.

Fenomena Kesurupan

Dari satu perspektif, saat itu, sepanjang tahun 2007, tampaknya Indonesia menjadi sebuah negeri yang makmur lohjiwani. Meski angka kriminalitas tetap tinggi tapi ditaksir jumlah pengangguran di kampung-kampung merosot tajam. Upaya pemerintah SBY untuk menggalakkan sektor riil, kelihatan sukses. Orang malas menyimpan uang di bank; selain bunga di bank tidak menarik, orang lebih suka menginvestasikan di anthurium yang menjanjikan orang cepat jadi milyarder. Semangat enterprenership praktis melambung tinggi karena semua orang berniaga anthurium.

Bupati Karang Anyar Hj. Rina Iriani mengaku saat itu income warganya bisa mencapai Rp 3-7 juta/ bulan gara-gara anthurium. Daerah-daerah di sekitarnya pun tak malu-malu mengikuti jejaknya. Para pejabat ikutan sibuk menggalakkan pameran dan kontes anthurium. Lurah bikin pameran supaya di pilkada jadi camat. Camat bikin kontes, supaya di pilkada naik jadi walikota dan seterusnya. Jadi rupanya, hal ini bisa jadi ‘ajang kampanye’ juga. Rano Karno yang dikenal memiliki banyak anthurium terpilih sebagai Wakil Bupati Tangerang, konon juga karena petani di sana berharap fenomena anthurium bisa awet di bawah kepempinannya.

Tahun lalu saya menulis di TRUBUS (Oktober 2007) dengan judul, “Fenomena Kesurupan Anthurium”, dan di Tabloid Kontan saya menulis “Mimpi Indah Bersama Anthurium”. Di situ saya tulis, “ibu-ibu yang beli satu pot jenmanii kecambah saja sudah bermimpi bakal jadi milyarder.”

Atas permintaan sebuah penerbit, saya juga sempat menulis buku, “Jadi Milyarder dari Anthurium”. Waktu naskah siap cetak saya sebetulnya ingin menambahkan satu bab, yaitu (tentang kemungkinan) “Jadi Kere dari Anthurium” tapi telat. Ketika anthurium kemudian terpuruk, saya beruntung buku saya tidak dianggap, --misalnya,-- menyengsarakan rakyat.

Akhirulkalam, sekarang kita pun terjaga dari tidur, dan terbangun dari mimpi indah itu. Seperti halnya orang yang baru bangun tidur, kita pun kucek-kucek mata, menyadari situasi ternyata amat berbeda dengan mimpi kita.

Jumlah Nurseri Naik 700 Persen

Kini kita merasa takjub mengenang ada tanaman hias dinilai dengan sebuah mobil Inova, dan berharga sampai 1 Milyar. Kita juga ‘kaget’ bahwa ternyata semua orang kini memiliki tanaman dari keluarga arracae itu. Dan lebih kaget lagi, tanaman bersosok besar itu kini sudah beranak pinak, menghasilkan puluhan sampai ratusan ribu bahkan jutaan biji atau bibitan yang nantinya juga akan menghasilkan jutaan tanaman bersosok raksasa.

Kini kita mulai menyadari bahwa tanaman itu sudah hampir ‘menenggelamkan’ Pulau Jawa, terutama di daerah-daerah Jawa Tengah. Pantas saja, teman-teman di Jawa Tengah setiap hari sibuk mengangkuti ke mana saja, termasuk ke luar pulau untuk memasarkannya dengan harga rendah, dengan semangat, --maaf,-- “membuang limbah”.

Situasi saat ini seperti orang kembung, yang menyebabkan badan tidak enak dan meriang semata tidak bisa buang angin. Tanaman yang konon digemari para bangsawan itu kini ngumpul, beranak pinak, tumbuh berkembang di sebuah ruangan yang tak ada jendela atau pintunya. Kalau tak ada upaya menjualnya ke luar negeri, saya takut lama-lama giliran negeri ini yang ditenggelamkan.

Kita baru sadar kenapa sekarang banyak pedagang tanaman yang bete. Kesenggol dikit, maunya ngamuk, sewot. Pantas saja, karena mereka sedang memeluk bola panas yang rupanya belum sempat dilepaskan.

Malu sungguh dulu kita sempat menuduh Greg Hambali sebagai ‘orang sirik’ karena selagi kita asyik menimang anthurium, dia bilang: Lonceng kematian bisnis ini sudah semakin dekat berdentang," (TRUBUS Edisi Okt. 2007). Tak hanya Greg, Rhenald Kasali pun pernah kita hujat karena mengatakan, bisnis anthurium seperti ikan lohan. (TRUBUS edisi Desember 2007)

Sembari kucek-kucek mata kita pun baru ngeh, bahwa jumlah pemilik dan pedagang anthurium, sekarang ternyata sudah meningkat hampir 600-700 persen dibanding dua tahun sebelumnya. Pantas saja semua orang bersikap ‘menjual’ daripada ‘membeli’. Yang dulu membeli sama kita, sekarang balik mau menjual ke kita. Tetangga yang dulu kelihatan antipati pada tanaman, tahu-tahu memelihara anthurium. Rupanya di tahun 2007 anthurium sempat jadi bagian dari life style juga.

Tapi ada yang mengatakan, yang sepi tak hanya anthurium. Aglaonema, sanse, puring dan, philo juga sepi. Kalau dibilang tidak ada yang beli salah juga. Tapi yang beli dalam jumlah besar, sehingga membuat grass root goyang memang tidak ada sama sekali. Kenapa? Banyak kolega saya bertanya: apa orang Indonesia sudah tidak lagi menyukai tanaman hias?

Harga tanaman sampai kwartal pertama tahun 2008, praktis bisa dibilang stabil, bahkan cenderung turun. Di pameran, yang terjadi malah orang sibuk membanting harga. Tapi orang ternyata masih malas masuk ke lapak, membuat transaksi. Yang dituduh malah krisis pangan, dan harga BBM yang naik. Apa juntrungannya?

Sampai di sini kata-kata saya memang pahit. Tapi dari perspektif sempit pula, saya memang berpendapat, rakyat masih marah, kecewa, dan dendam pada anthurium, yang dianggap telah menyengsarakan mereka, dan sebagian kecil saja mungkin yang menikmati bonanza anthurium. Sebagian dari mereka mengalami paranoid, atau phobia akut mengakibatkan benci pada semua tanaman. Ada juga yang malah kesal pada pedagang tanaman yang dianggap menjerumuskan hidupnya. Majalah atau tabloid tanaman yang mencoba menawarkan alternatif baru saja ikut dimusuhi. Rupanya, mereka tak rela melepas mimpi indahnya.

Selalu Optimis

Anjuran saya sederhana saja: cuci muka adalah cara terbaik setelah kita bangun tidur. Maksudnya, supaya wajah kita segar dan pandangan tidak nanar. Dengan itu kita pasti akan lebih mahir dan cerdas menyongsong hari esok. Apa misalnya?

Kalau nanti ada jagoan baru, selalu ambil posisi yang jelas, jangan bersikap ambigu. Kalau mau jadi pedagang, jadilah pedagang sejati, bukan spekulan atau penjudi. Kalau Anda mau jadi pedagang harusnya tidak banyak cincong: kalau sudah untung, lepas saja. Jangan mencoba-coba menahan harga dengan harapan harga naik terus. Anthurium mengajarkan kita bahwa spekulan –seperti penjudi—ujung-ujungnya hanya ada istilah kalah dan menang, win or lose.

Kalau mau jadi breeder, jadilah breeder sejati dan professional. Jangan jadi breeder merangkap pedagang. Pedagang berpikir jangka cepat, menjual hanya barang yang fast moving. Sebaliknya, seorang breeder atau petani, kita kudu sabar, berpikir jangka menengah dan jangka panjang.

Yang tak kalah penting, jangan suka menuding pihak lain sebagai pembuat harga tanaman suka jatuh. Dalam kasus anthurium, yang disalahkan barang impor. Kita lihat sendiri, yang bikin ulah ternyata kita sendiri. Sangat konyol, pistol kita arahkan ke depan, teman di belakang justru menohok kita.

Dan yang juga penting dicatat, kita sekarang tahu betapa pentingnya peran pemerintah untuk membantu membuka keran ekspor seluas-luasnya. Pemeritah harus tahu bahwa kita punya potensi, yang selama ini tidak pernah diperhitungkan.

Karena saya suka dengar anggapan orang luar bahwa tanaman kita tidak steril, mungkin Deplu harus sudah mulai bikin PR bahwa tanaman Indonesia sehat dan bebas hama. Selanjutnya Deptan atau pihak terkait di Indonesia harus segera menderegulasi semua aturan yang bikin susah sekaligus memberi insentif kepada pengekspor. Kalau Thailand bisa, kenapa kita tidak? Ini berlaku untuk tanaman apa saja, seperti aglaonema silangan Greg Hambali, sanse, puring dan lain-lain. Tanaman adalah jenis komoditi yang bisa beranak pinak. Jangan sampai setelah over supply, kita baru merasakan dampak pahitnya.

Ringkasnya, anthurium sudah memberi banyak pelajaran berharga bagi kita. Tapi jangan mau terpenjara oleh masa lalu, betapa pun indahnya masa lalu itu.***

Kurniawan Junaedhie adalah wartawan & pecinta tanaman hias
Dimuat TRUBUS edisi JULI 2008 dengan judul "NAIK 700%".

Menunggu Jagoan Baru

Sejak akhir tahun lalu, bisnis tanaman hias lesu, letoy dan memble. HP saya setiap hari penuh dengan pesan singkat berisi keluh-kesah dari teman-teman dari Sabang sampai Merauke. Tak sedikit yang putus asa dan bertanya: Apa tanaman masih punya prospek sebagai bisnis? Bahkan ada sejawat, saking kesalnya dicekam rasa sepi, mau melego tanah, greenhouse beserta tanamannya.

Saya kira ada banyak faktor yang membuatnya.

Faktor pertama, tentu saja, situasi perekonomian. Survei yang dilakukan Bank Indonesia menemukan, bahwa Indeks Keyakinan Konsumen di bulan Januari 2008 merosot jauh dan ini tercatat merupakan posisi terendah sejak sembilan bulan terakhir (Kontan, 13 Feb. 2008). Apa maknanya? Hasil survei itu mengindikasikan, orang Indonesia semakin pesimistis dengan kondisi ekonomi saat ini. Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok membuat prospek ekonomi nasional menjadi tak menentu.

Faktor kedua, ialah cuaca. Hujan turun terus-menerus di berbagai daerah. Kalau tidak banjir, gempa bumi, tanah longsor, ombak atau air laut yang naik pasang. Ini memang force majeur. Tak bisa diprediksi, tak bisa disesali. BMG menyebutnya sebagai anomali cuaca akibat Global Warming.

Banyak yang tidak sadar, dunia tanaman hias juga sedang mengalami situasi yang disebut anomali orientasi. Setelah Anthurium turun panggung, kita merindukan jagoan baru. Persis seperti yang terjadi setahun sebelumnya, saat aglaonema tak lagi dicari, kita linglung seakan kehilangan tokoh idola. Yang menarik, entah kebetulan atau tidak, para jagoan itu biasanya turun panggung memilih moment sensitif: pada akhir dan awal tahun. Hanya tahun ini, banyak orang bilang, waktunya berlangsung terlalu lama.

Sebetulnya sudah banyak yang melakukan ice breaking dengan mencoba mengatasi situasi stagnan ini. Misalnya, mencoba mengintroduksi superhero baru berupa tanaman-tanaman alternatif sebagaimana tahun lalu, melahirkan Pachypodium, Adenium Bonsai, Sansevieria dan Puring impor.

Menjelang tahun 2008, tanaman Senthe sempat ditawarkan lengkap dengan ‘cerita’ di baliknya. Misalnya, tanaman itu bagus untuk mengusir setan atau menghalau pengaruh black magic dan sebagainya

Ada juga upaya mencoba menyodorkan alternatif lain seperti Pakis Monyet, tanaman yang bentuk dan bulunya mirip seekor monyet itu. Supaya keren, tanaman itu juga dilumuri aneka mitos. Misalnya, Pakis Monyet atau juga disebut Pakis Hanoman itu adalah tanaman kesukaan Sun Go Khong, tokoh kera dalam mitologi klasik Cina. Lalu Sanse dan seterusnya.

Banyak orang bertanya; apa tanaman baru yang bakal ngetrend di tahun 2008 Maksudnya, apa atau siapa jagoan baru mendatang? Saya kira, kosa tanaman hias sejak dulu ya itu-itu saja. Yang ada siklus tanaman. Misal, tanaman lama, yang dulu tidak diperhitungkan, tiba-tiba muncul, diburu orang, dan bisa dijual dengan harga mantap. Coba siapa sangka Anthurium bakal berharga jutaan padahal tahun-tahun sebelumnya disepak-sepak?

Terus ada yang bilang, supaya tanaman itu ngetrend, dan jadi jagoan, harga tanaman itu harus bagus. Dan supaya harga bagus maka tanaman itu harus sedikit populasinya. Kalau populasinya banyak orang sudah pasti enggan memburu.

Rekayasa Populasi

Kalau mau repot, sebetulnya ada cara klasik tapi jitu untuk menciptakan superhero baru. Yakni, melakukan rekayasa populasi, dengan cara menguasai atau memonopoli peradarannya. Sikat habis barang yang beredar di pasaran lalu secara pelahan-pelahan, dan sedikit demi sedikit digelontorkan ke pasar dengan harga semakin meningkat.

Beberapa tahun lalu, Adelia, aglo hibrida silangan Greg Hambali (biasa disebut aglo-aglo lokal) sempat di’habisi’. Alih-alih tanaman itu jadi dilupakan orang dan tidak laku, eh tanaman tersebut malah menjadi incaran orang. Kalau ingatan kita masih jernih, saat itu perimbangan supply dan demand sempat terguncang. Pedagang penasaran, ujungnya juga end users ikut kalap, sibuk berburu, membeli berapa pun harganya, kuatir harga naik lagi. Persis saat orang kesurupan Anthurium belum lama berselang.

Kata sahibul hikayat, ada sejumlah actor intelectual di belakangnya. Merekalah yang menghabisi, dan yang kemudian melepasnya ke pasaran dalam jumlah terkendali. Maksudnya, menjaga populasi agar harga meningkat. Harga Adelia pun dengan cepat merambat naik, dari cuma Rp. 90rb, merambat menjadi Rp. 125ribu sampai kemudian sempat mencapai Rp. 600rb per helai daunnya.

Euphoria Adelia, tak syak mendongkrak pamor aglo-aglo Greg lainnya. Harga Tiara sempat dihargai Rp. 3 juta, Widuri dihargai Rp. 5 juta, dan Hot Lady dihargai sampai Rp 6 juta per daunnya.. Heran juga, waktu itu saya rela membeli anakan Hot Lady 3 daun hasil splitan, seharga Rp.17,5 juta per pot. Lupa-lupa ingat, pasti waktu itu saya berpendapat, belum trendy kalau tidak punya aglo-aglo Greg Hambali.

Aglo-aglo lokal pun bersimaharajalela di pasaran. Harga memang naik, tapi populasinya juga tak terkendali. Apesnya, di saat itu, para actor intelectual mulai menyapih pasar. Mereka menjual dengan harga tinggi tapi tak kunjung membeli kembali. Mekanisme pasar akhirnya yang bekerja secara alamiah. Harga pun anjlok karena tidak ada ‘badan penyangga’ lagi di sana. Saya kaget campur haru, belum lama ini membaca ada sebuah nursery menawarkan harga sehelai daun Adelia ‘hanya’ Rp. 100rb per helai daunnya. (LangitLangit.com, 24 Jan. 2008).

Belajar Sampai Negeri Cina

Belakangan ini, harga anthurium juga dikhabarkan semakin hari semakin merosot. Di milis atau di forum diskusi, penurunan harga itu dibilang sebagai “koreksi harga” atau “harga terkoreksi”. Makna semantik dari kata-kata itu adalah bahwa harga yang dulu salah, dan karena sudah dikoreksi, harga yang sekarang dianggap benar. Tapi apa itu anggapan correct (benar)?

Ada cerita menarik. Ketika pertama dimunculkan, harga Senthe Wulung mencapai Rp. 250rb. Banyak pedagang memborong karena beranggapan, tanaman mirip talas ini bakal menjadi jagoan baru. Tahu-tahu orang sudah menjual dengan harga lebih murah. Dan mendadak sontak tanaman ini ada di mana-mana. Baru tahu kita, populasinya banyak. Tanaman ini bukan tanaman asing untuk masyarakat Indonesia. Senthe termasuk keluarga Caladium. Di beberapa daerah tanaman yang bikin gatal itu biasa untuk pakan kambing atau ikan gurame.

Kasus hampir sama terjadi pada Pakis Monyet tadi. Waktu pertama keluar, harga satu potnya dihargai Rp. 250rb. Tapi hanya dalam hitungan bulan, harganya memble. Belakangan ketahuan, tanaman itu mudah diambil dari hutan-hutan di Palembang.

Jadi harga yang turun ternyata bukannya membuat orang datang memborong, tetapi malah membuat orang semakin takut membelinya. End users dan pedagang takut, kalau-kalau harga nanti bakal merosot lagi. Saya kira justru logika kita yang harus dikoreksi: Tidak benar harga anthurium atau aglaonema yang semakin murah, membuat orang berduyun-duyun membelinya tapi justru membuat orang lari tunggang-langgang menjauhinya.

Ada yang sinis, itulah memang tabiat jagoan kandang. Tidak kuat nyali. Lebaran masih dua minggu, harga sudah dibanting-banting. Jagoan baru yang kita mau tentu harus tahan banting dan tidak cemen. Indikasinya bisa dilihat di meja-meja para pedagang. Kenapa?

Pertama, pedagang tanaman (biasanya) tidak pernah pro-end user tapi lebih pro-kantong sendiri. Dia bukan memikirkan murah atau mahal. Tetapi mana yang bisa dijual dan menguntungkan. Kalau tanaman itu tidak bisa dijual apalagi tidak menjanjikan keuntungan, mereka tentu akan malas memasarkannya.

Kedua, pedagang juga butuh kepastian. Kalau harga tidak pasti, mereka pasti ogah membeli dan menjual nya. Padahal kenyataannya, tidak hanya harga, untuk tanaman-tanaman yang kita jagokan pasokannya saja sering-sering tidak pasti.

Dari pengamatan saya singgah ke beberapa daerah baik di Pulau Jawa maupun di Luar P. Jawa selama awal tahun ini, hasilnya memang agak pahit.

Kalau tanaman impor lebih berjaya, pasti bukan salah bunda mengandung. Tanaman-tanaman impor punya kalkulasi bisnis yang jelas. Ada komponen harga yang pasti, seperti bea cukai, beaya karantina, pajak impor, ongkos cargo dan lain-lain yang membuat harga tanaman memiliki harga standar dan tidak bisa dibuat seenak udel.

Repotnya kalau kita bilang “impor”, rasa nasionalisme kita langsung bangkit. Kita lalu menyerang anthurium impor, aglo impor, pepaya impor dan barang-barang impor lainnya dengan membabi buta dan menyebar fitnah keji. Padahal, sudah sejak dulu kita dianjurkan belajar sampai ke negeri Cina. Mestinya kalau suasana tahun baru masih sepi, ya, sabarlah. Kita tidak sendiri.***

Serpong, medio Februari 2008
Kurniawan Junaedhie, pecinta tanaman hias

*) Artikel ini ditulis khusus untuk LangitLangit.Com

Totalitas dalam Bisnis Itu Penting

Setelah 25 tahun melanglang buana di dunia pers, Kur—sapaan akrab Kurniawan Junaedhie—memutuskan untuk pensiun dini. Tahapan demi tahapan di bidang jurnalistik pun telah ia alami. Namun saat ini, namanya justru berkibar di kalangan pencinta tanaman hias.

Alasannya simple saja. “Saya masih dibutuhkan pada saat itu. Namun, saya butuh untuk mengaktualisasikan diri,” ujar pria yang berdomisili di Serpong, Tangerang ini. “Saya mau wiraswasta dan saya mau merdeka”, katanya dengan mantap.

Berdasarkan tekad itu, Kur memilih tanaman hias sebagai sasaran bisnisnya. Memelihara tanaman hias memang salah satu hobinya. Dengan mengandalkan kolega dan komunitas yang ia punya, informasi akan bisnis ini pun ia dapatkan dengan mudah.

Jika ditanya soal modal, dengan tegas ia menjawab tidak ada. “Karena yang dijual adalah koleksi saya. Koleksi itu kan nggak bisa saya katakan modal. Wong, saya jajan kok. Jadi sewaktu saya jual kan merasa bukan modal,” katanya. “Kalaupun bicara masalah modal, waktu itu modal saya hanya 10 tanaman adenium dan 50 tanaman euphorbia yang merupakan ‘hutangan’ dari teman saya. Nah, terus saya perbanyak sendiri sampai sekarang,” tambahnya.

‘Kecelakaan’ yang menguntungkan
Bak gayung bersambut, nampaknya niat Kur untuk menjalankan bisnis inipun berjalan sesuai harapan. Bahkan, iapun tak pernah memimpikan untuk memiliki gerai sendiri. Hingga suatu saat, salah satu dari tukang tanaman langganannya menawarkan sebidang tanah.

Awalnya gerai itu memang kosong. Namun, baginya, tanaman itu beranak-pinak. Dari sana, kesuksesan ia peroleh.

“Saya orang beruntung,” katanya. “Jadi, pada saat memulai bisnis ini empat tahun lalu saya mengalami apa yang dialami senior saya. Booming anthurium,” kata pemilik gerai toekangkeboen ini.

Meski baru empat tahun menjalani bisnis ini, nampaknya Kur sudah cukup mampu bersanding dengan para seniornya. Kur pun mengakui bahwa yang membedakan dirinya dengan pebisnis lain adalah background-nya sebagai seorang wartawan.

Manajemen bisnis tanaman hias ala Kur

Berbagai cara pun ia lakukan untuk membuat gerainya maju dan terkenal. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan modern. Mulai dari spanduk, menjual minuman untuk para tamu yang mengunjungi gerainya, sistem pembayaran dengan menggunakan kartu kredit, dan membuka situs web toekangkeboen.com. Namun, dari sekian banyak pendekatan yang Kur lakukan, satu hal yang tidak bisa ditiru adalah dirinya sebagai penulis. “Saya bikin buku dan talkshow. Ini tidak bisa ditiru. Di sanalah letak perbedaannya,” katanya menambahkan.

Bagi pria berkulit putih ini, yang ia jual di gerainya bukan hanya tanaman. Ibarat jualan ayam goreng, yang dijual tidak cuma ayam, melainkan pula sambalnya. Karena sambal itulah yang membedakan.

Menurutnya, inti dari manajemen bisnisnya adalah memberi rasa nyaman. “Orang masuk ke sini, kemahalan aman. Artinya orang bisa memarahi saya. Kalau ada konsumen merasa kemahalan, bisa memarahi saya. Dibandingkan dengan kita beli sama orang yang jualnya sambil cemberut. Memang murah, tapi kalau dikomplain dia marah. Berarti nggak aman kan?” aku pria yang juga hobi bermain gitar dan menyanyi ini.

Positioning dalam bisnis tanaman hias

Ketika kita memutuskan untuk memasuki bisnis tanaman hias, banyak posisi yang bisa kita fokuskan. Mau jadi pedagang atau kolektor?

Menurut penulis buku Jurus Sukses Bisnis Tanaman Hias (AgroMedia, 2007) ini, penempatan posisi inilah yang kerap kali salah dilakukan oleh orang-orang yang akan memulai bisnis tanaman hias.

“Kalau ingin seperti saya, harus memosisikan diri sebagai pedagang. Pedagang itu menjual barang yang laku. Pedagang itu menjual yang terbaik. Kalau pedagang, yang bagus disodorin. Yang jelek, ya bilang jelek,” ujarnya. Hal inilah yang membedakan dengan dengan kolektor tanaman.

Jujur adalah kuncinya. Karena dari kejujuran itulah, kepercayaan dan rasa aman konsumen akan terjalin. Namun semua itu kembali lagi pada penerapan yang kita lakukan. Apakah sudah benar atau masih kurang tepat?

Prospek bisnis tanaman hias

Selain menjadi orang yang beruntung, Kur ternyata juga memiliki kelebihan untuk memprediksikan tanaman hias apa yang akan booming. Tak ayal, banyak orang yang menanyakan padanya, bagaimana prosepek bisnis ini ataupun tanaman apa yang bakal naik di tahun 2008.

Dengan penuh keyakinan, Kur pun menjawab, “Bagus!”, saat ditanya mengenai prospek bisnis tanaman hias ini. Baginya, bisnis tanaman merupakan komoditi yang luar biasa.

Namun, menurutnya, kita masih kekurangan orang yang dedicated terhadap bisnis ini. Kebanyakan dari mereka yang membuka bisnis ini hanya menjadikannya sebagai usaha sampingan. “Kita harus total. Artinya, harus memerhatikan,” tambahnya.

Dari totalitas inilah, Kur memperoleh banyak pengetahuan. Salah satunya adalah siklus tanaman hias. “Orang pada mengeluh sekarang. Kok sepi ya, kok sepi ya? Bagi saya aneh. Setelah saya memerhatikan dan mempelajari, siklus itu memang ada. Setiap habis lebaran, atau tahun baru. Ya, kita tinggal tunggu saja. Nggak usah dipusingin. Sebenarnya mereka itu ngerti, tapi nggak pernah memperhatikan,” kata pria yang juga menulis buku Panduan Praktis Perawatan Aglaonema (AgroMedia, 2006), Pesona Anthurium Daun (AgroMedia, 2006), dan Menjadi Milyarder Dari Anthurium Daun (AgroMedia, 2007).

Saat ditanya mengenai tren tanaman hias di tahun 2008 ini, Kur hanya menjawab, “Saya belum tahu. Sampai bulan Maret ini, memang belum bisa diprediksi. Siklusnya memang seperti ini,” katanya sambil menutup percakapan.

(Dikutip dari: agromedia.net)

Model Bisnis Tanaman Hias

Jual tanaman hias tidak selalu di kakilima atau punya lapak. Banyak model dan caranya. Bahkan dengan menjadi hunter dan makelar pun oke. Pilih saja sesuai kondisi keuangan, kesehatan dan cita-cita Anda sejak kecil. Tentu saja, semua pilihan ada plus-minusnya. Tapi siapa tahu, tulisan ini bisa menerbitkan gagasan baru.

1. Sewa dan buka gerai tanaman hias.
Ini cara paling konvensional. Jual tanaman hias dengan cara menyewa lapak di tempat terbuka.

Kalau Anda punya nyali dan mau sedikit nekad, bisa gunakan lahan kosong milik pengembang yang tidak difungsikan atau lahan kosong milik siapa saja. Cuma konsekuensinya, Anda harus siap-siap dikejar petugas Trantib dan berurusan dengan para preman. Jelas, cara ini tidak dianjurkan.

Yang paling baik, sewa saja secara resmi lapak-lapak di sentra-sentra tanaman hias yang juga resmi. Di Jabodetabek misalnya ada di Ragunan, Jakarta Selatan; Flona Alam Sutera, Serpong Tangerang dan Pusat Tanaman Hias BSD City di Kompleks Taman Tekno.

Sistem sewa biasanya dihitung per bulan atau per tahun di luar beaya kebersihan dan keamanan. Hitungan untuk tahun 2007, rata-rata per tahun antara Rp. 5 sampai 10 juta untuk setiap kapling. Kalau lahan sudah habis di tempat resmi tadi, Anda bisa ‘membeli hak pakai’ pada penyewa lama secara bisik-bisik. Dengan catatan, penyewa lama sudah bosan, tentu saja. Harga beli ‘hak pakai’ juga bervariasi antara Rp. 20 juta sampai Rp. 100 juta per kapling.

Menyewa lapak di sentra penjualan tanaman hias resmi, selain tidak dikejar-kejar petugas Trantib, Anda juga tidak perlu repot-repot promosi. Karena sentra tanaman itu sendiri sudah mampu mengumpulkan pengunjung. Paling tidak, kalau Anda belum punya pelanggan, kalau nasib baik, ada pelanggan tetangga kesasar masuk ke gerai Anda. Yang perlu Anda lakukan tinggal memajang tanaman-tanaman yang bagus, memasang karyawan yang ramah dan membuat gerai Anda menyenangkan.

2. Sewa stand dan buka pameran.
Pameran Tanaman Hias merupakan ajang promosi dan ajang penjualan yang bagus. Pihak penyelenggara melakukan banyak promosi untuk mengudang konsumen datang. Kalau Anda sewa stand dan buka pameran di situ, bukan mustahil gerai Anda dikunjungi orang, dan tanaman Anda dibeli orang.

Sekadar informasi, di Jabodetabek, sewa stand saat ini berkisar antara Rp. 750rb sampai Rp. 3 jt, untuk ukuran gerai 3 x 5 meter, selama pameran berlangsung antara 7 sampai 10 hari.

Di Jakarta ada beberapa event pameran tanaman yang berskala nasional, seperti Pameran Flora Fauna di Lapangan Banteng setiap bulan Agustus, atau pameran-pameran tanaman hias yang diselenggarakan Majalah Trubus. Tapi banyak juga pameran-pameran serupa yang diselenggarakan oleh Pemda, Supermal, atau event organizer, di banyak tempat. Kalau Anda berminat, silakan saja hubungi penyelenggaranya.

Yang perlu Anda lakukan, selain menyiapkan tanaman hias andalan adalah mencetak kartu nama untuk disebar. Jangan lupa cetak nomor telepon Anda jelas-jelas, agar setelah pameran usai, tanaman Anda tetap dibeli orang.

3. Open House.
Open house atau buka nursery di rumah sendiri paling enak. Anda bisa setiap hari menongkrongi, memantau, dan menerima pembeli. Kalau bisnis Anda laku, Anda boleh bilang pada keluarga di rumah yang ikut menyaksikan, bahwa jadi pedagang tanaman hias tidak hina. Cara ini gampang dilakukan bila Anda punya pekarangan atau lahan yang memenuhi persyaratan. Tapi bagi yang tidak punya lahan, bisa bikin dak.

Enaknya, para tetangga yang lewat dan melihat, atau handaitaulan yang kebetulan mampir bisa menjadi pengiklan bisnis Anda. Syukur-syukur mereka juga ikut tergerak untuk membelinya, bukan malah memintanya secara gratis. Jika yang terakhir ini terjadi, jangan sekali-kali Anda mengabulkannya. Lebih baik Anda menjual kepada mereka dengan harga miring atau rugi, daripada memberinya cuma-cuma. Jangan sampai yang kemudian menjadi berita dari mulut ke mulut adalah bahwa tempat Anda adalah tempat yang tepat di mana orang bisa mendapatkan tanaman secara gratisan. Dengan menjual murah atau rugi, sedikitnya, yang akan menjadi berita adalah tempat Anda tempat menjual tanaman dengan harga murah.

Keuntungan lain dengan memilih cara ini, Anda tentu saja tidak perlu buang beaya untuk menyewa lapak. Juga, kalau sedang tidak ada pembeli, Anda bisa menikmati keindahan setiap hari. Kerugiannya: istri, mertua, anak atau cucu Anda bisa terganggu ruang geraknya. Anda juga harus mulai bersiap-siap memiliki rumah seperti hutan belantara. Cara ini juga bisa dilakukan secara luwes. Misalnya, kalau Anda masih ngantor, atau punya usaha lain, Anda bisa hanya open house pada hari Sabtu dan Minggu saja.

4. Nitip teman yang menjual tanaman atau pada penjual tanaman yang Anda kenal.
Ini cara paling aman, terutama jika Anda tergolong hobiis pembosan. Jadi kalau ada tanaman yang Anda anggap sudah menjemukan, Anda bisa mereka untuk memasarkannya. Cara nitip teman juga pas jika Anda tergolong pemalu, atau masih malu-malu menjadi pedagang tanaman hias.

Keuntungannya, rumah Anda nyaman, dan Anda tak perlu mengeluarkan beaya sewa lapak. Jeleknya, kalau tanaman Anda tersia-sia di tempat ‘penitipan’. Bahkan bukan tidak mungkin, orang-orang yang Anda titipi malah men’curi’ tanaman Anda dengan memotong bonggol atau akarnya tanpa Anda ketahui.

5. Menyewa tukang gerobak keliling.
Ini cara paling jitu kalau rumah Anda sempit, dan Anda tidak punya kebun sendiri.

Bikin gerobak dorong, dan panggil para pengangguran yang tinggal di sekitar Anda untuk diajak menjadi pedagang keliling tanaman hias. Suruh mereka masuk ke perumahan-perumahan menjajakan tanaman Anda. Dewasa ini banyak orang senang tanaman hias tapi terlalu sibuk untuk mendatangi nursery. Mereka adalah pasar potensial Anda.

Enaknya, setiap hari Anda menerima setoran dari para penarik gerobak dorong. Kalau setiap gerobak menyetor Anda uang Rp. 1 juta saja sehari, kita sudah bisa bayangkan, betapa indahnya bisnis tanaman hias. Dari sana sekaligus Anda juga bisa mendapat info tanaman apa yang disukai dan mana yang tidak disukai. Yang disukai, segera belanja di tempat penjualan grosir tanaman hias.

Risikonya, kalau penarik gerobak kabur beserta gerobaknya Anda bisa gigit jari. Tapi Anda bisa cegah duluan dengan menyimpan fotokopi KTPnya. Kalau ada apa-apa, tinggal lapor polisi.

6. Jadi Hunter atau Buser
Kalau Anda ingin dapat untung dari berjualan tanaman hias tapi modal cekak atau tidak punya modal sama sekali, cara ini bisa dilakukan. Yaitu dengan menjadi seorang hunter (pemburu) atau buser (buru sergap) tanaman hias. Pada dasarnya hunter maupun buser adalah makelar atau istilah kerennya, brooker. Modalnya, informasi dan sebuah hand phone yang bisa kirim foto melalui MMS (Multimedia Messaging Service). Dengan model bisnis ini, Anda bahkan tidak harus punya tanaman sendiri.

7. Buka kebun khusus sendiri di daerah pinggiran.
Cara ini mungkin termasuk cara paling mahal. Karena kita harus menyewa atau memiliki lahan luas di daerah pinggiran di mana harga atau sewa tanah masih murah. Tapi percayalah, meski di dearah pinggiran sekali pun, kalau koleksi tanaman hias Anda bagus, orang akan tetap memburunya. Bak syair lagu: “Ke gunung kan kudaki, ke laut kan kuseberangi….”

Keuntungannya, Anda bisa memilih konsumen yang datang ke kebun Anda. Kalau Anda sedang capek Anda bisa mengatakan nursery Anda tutup, Anda sedang di luar kota atau alasan-alasan lainnya. Bahkan Anda bisa menyeleksi pembeli Anda. Keuntungan lainnya, kalau orang sudah jauh-jauh datang ke tempat Anda, sudah pasti mereka juga akan berbelanja cukup banyak.

8. Buka kebun, sekaligus buka kedai kopi atau Galeri
Kalau kondisi keuangan memungkinkan, dan lokasi mendukung, selain buka kebun dan jual tanaman, Anda bisa menambah fasilitas lain seperti kafe atau kedai kopi, atau galeri lukisan. Jadi, selain berburu tanaman, pengunjung bisa minum kopi, atau beli lukisan.

Di Bandung ada All About Strawberry. Bapak Ibu beli tanaman strawberry, anak-anak bisa minum juice strawberry. Di Baturaden, Purwokerto ada Puspa Tiara Nursery yang menyediakan bakso dan kopi. Istri beli tanaman, anak-anak makan bakso dan suami bisa ngopi. Semua happy.

9. Menjajakan dengan Sepeda Motor atau Mobil.
Cara bisnis seperti ini boleh dicoba kalau Anda tidak punya lapak. Kita ambil dagangan di tempat kulakan, lalu menjajakan secara keliling dengan sepeda motor, atau mobil. Sasarannya, pedagang-pedagang tanaman hias kaki lima. Atau masuk ke pedagang-pedagang yang sedang buka stand pameran karena terlalu sibuk sehingga tidak punya waktu untuk kulakan..

Kita bisa jual per lima atau sepuluh pot. Tak usah untung banyak, asal penjualan lancar dan pembayaran bagus, sudah aduhai. Modalnya, cuma tahu tempat kulakan, tahu di mana sasaran kita berada, dan punya sepeda motor atau mobil yang bisa kita pakai. Kalau Anda bisa ngutang dulu di tempat kulakan, lebih asoy. Jadi Anda tak perlu mengeluarkan modal. Tentu saja, Anda harus langsung membayarnya begitu Anda menerima uang.

10. Bikin Website atau Blog
Kalau mau memasarkan tanaman Anda ke pasar lebih luas, Anda bisa bikin website. Di situ Anda bisa pasang foto-foto tanaman di situ, dilengkapi deksripsi dan harganya.

Bikin website tidak mahal. Anda paling cuma harus bayar seorang desainer web, suruh bikin web. Lalu hubungi dan bayar pihak web hosting, agar website Anda bisa disiarkan ke seluruh dunia. Kalau tidak mau repot, buat dan ciptakan blog. Gratis. Anda tidak perlu tahu bahasa html dan memahami aneka script yang rumit. Sudah begitu, Anda bisa kirim dan pasang gambar dengan cuma memencet tombol. Asyiklah.

Keuntungan lain kalau punya website, Anda juga bisa jadi brooker. Tanaman punya teman yang mau dijual difoto, gambarnya pasang di situ. Kalau laku, Anda dapat komisi.

11. Pasang Iklan Baris di Internet
Punya tanaman, tapi tidak punya gerai, atau malu mejeng di pameran, tidak bisa bikin gerobak boro-boro punya website? Gampang saja. Pasang iklan baris di Internet.

Dewasa ini banyak portal-portal tanaman hias yang bersedia memasangkan iklan baris Anda secara gratis. Contohnya, Trubus Online (http://www.trubus-online.com), dan LangitLangit.Com (http://www.langitlangit.com) . Syaratnya cuma satu: Anda tidak gaptek Internet. Kalau cuma tidak punya Internet, gampang, datang saja ke Warnet atau bawa laptop dan bayar voucher sewa hotspot yang banyak dimiliki supermal atau kafe.

Itu sekadar contoh. Sebetulnya kalau kreatif masih banyak cara lagi bisa dilakukan.***

(Dikutip dari buku JURUS SUKSES BISNIS TANAMAN HIAS, karangan Kurniawan Junaedhie, PT Agro Media Pustaka)

toekangkeboen.com Milik Siapa?

Belum lama ini, saya dikejutkan oleh banyaknya email dan SMS yang sekedar tanya pada saya, mengenai ikhwal toekangkeboen.com. Awalnya saya menganggap pertanyaan bodoh itu tidak perlu dijawab.

Seperti dalam kasus plagiat Abi terhadap tulisan saya di Kontan, baru belakangan saya tahu penyebabnya, yaitu ketika iseng2 masuk ke mesin pencari Google, ditemukan teks begini:

Awalnya ia membuat toekangkeboen.com. Selanjutnya tahun 2005, dibuat toekangboenga.com untuk penjualan adenium dan melepas toekangkeboen.com pada rekan. ... dst....

Siapa yang dimaksud ia dalam tulisan itu? Langsung saya klik tulisan tersebut. Yang dimaksud ia, rupanya Pak Teguh, sobat saya di Purwokerto. Tulisan itu pernah dimuat di Tabloid Gallery dan memang menyebut-nyebut toekangkeboen.com berdasarkan nara sumber Pak Teguh yang saya kenal paling banyak punya website jualan tanaman hias. Yang kaget, di Tabloid Gallery itu dikesankan seolah-olah pemilik toekangkeboen.com adalah Pak Teguh yang saya ketahui punya toekangboenga.com, daoenbagoes.com dlsb. itu.

Langsung saya hubungi Pak Teguh sekadar untuk menanyakan kok bisa ada tulisan seperti itu. Dan demi kebenaran saya sarankan, seyogyanya diralat saja, supaya publik jangan memperoleh informasi salah. Pak Teguh langsung mencak-mencak, agar saya tidak perlu meralat, karena beliau takut dianggap pembohong atau memberi data palsu kepada wartawan.

Hari itu juga, Pak Teguh langsung mengirim email berisi jawabannya terhadap tabloid dimaksud.
Tanggal: Tue, 11 Mar 2008 21:35:42 +0700 (ICT)
Dari:
"pak tani"
Topik: Terusan: Re: Balasan: Permohonan menjadi nara sumber untuk Tabloid Gallery
Kepada: kj@toekangkeboen.com

1. sejak kapan mulai menjual tanaman hias on line, dan dimana alamat kebunnya. Sejak th 2003 saya membuat website :
toekangkeboen.com yang kemudian saya berikan gratis kepada teman saya Kurniawan Junaedhie sebagai hadiah persahabatan pada tahun 2004. Tahun 2005 saya membuat website baru :petanibunga.com bahken kemudian disusul dengan lain-lainnya yaitu : toekangboenga.com (sepesial adenium), bijibunga ( biji adenium), daoenbagoes (tanaman daun : aglaonema, anthurium, philodendrondsb), tokopupuk.com (pupuk dan sarana produksi pertanian), adeniumlegenda (adenium klasik, antik danlegendaris), dsb. Alamat kebun : di Jalan Wahid Hasyim 273 A Purwokerto Jawa Tengah.

2. s/d 5 (didelete, kj)

--- tabloid gallery <
tabloid.gallery@gmail.com> wrote:>

Selamat siang
, kebetulan edisi depan tabloid gallery ingin membahas pembelian secara on line disini kami ingin menjadikan web site pak tani menjadi salah satu narasuber.. ada beberapa pertanyaan yang ingin kami ketahui..
1. sejak kapan mulai menjual tanaman hias on line, dan dimana alamat kebunnya
(selanjutnya saya delete, kj)

Sungguh, saya tidak pernah komplin atau kirim surat ralat pada redaksi Tabloid Gallery. Di website toekangkeboen.com saya cuma menulis maklumat standar begini:

DIBERITAHUKAN bahwa TOEKANGKEBOEN.COM tidak memiliki hubungan --baik agen, perwakilan atau cabang-- dengan sebuah nursery online di mana pun, sebagaimana dimuat di sebuah media massa baru-baru ini. Bisnis, design web dan domain name sepenuhnya milik Kurniawan Junaedhie sejak tahun 2003. Mohon relasi dan pelanggan maklum.

Setelah saya beritahu kasus ini, teman-teman pun berkomentar: angin lebih suka menerpa pohon tinggi. Saya jawab, sebodo.

Beginilah nasib seorang mandor kebon.

Abi Oh Abi, Teganya Dikau Menyontek Tulisan Orang Lain

Seorang pembaca Kontan menulis surat terlampir dan dimuat di Kontan MInggu III Des. 2007. Dia heran, tulisan MIMPI INDAH BERSAMA ANTHURIUM tulisan saya yang dimuat di Kontan edisi Khusus Okt-Nov 2007 kok sama dengan yang dimuat ditablod TUMBUH edisi 7, 5-19 Des. 2007 dengan nama penulis berbeda yaitu Abi. Sebagai wartawan, pengarang dan penulis fiksi selama hampir 25 tahun, saya cuma bisa mengelus dada dan gemas. Banyak sekali orang2 muda seperti Abi yang suka menerabas, dan tidak mau melewati proses. Mereka ingin cepat2 sukses tidak mau repot. Adalah orang2 seperti ini, ketika nanti menjadi orang, akan melakukan segala cara untuk mencapai keinginannya.

Di sebuah blog, pernah juga ada yang menanyakan hal yang sama tentang perkara yang sama, dan saya kutip juga di blog ini. Waktu itu reaksi saya mungkin agak lebih emosional. Hehehe. Sekarang mah santai.

Sebagai penulis yang tulisan2nya banyak di muat di media massa, terus terang bukan baru sekali ini, tulisan2 saya dibajak atau diplagiat orang seperti Abi di Tabloid Tumbuh. Dulu cerpen2, novelet2 maupun puisi2 saya juga sering dibajak orang. Jadi komentar saya, ya, no comment. Mau apa? Marah? Saya lebih baik menganggap Abi sengaja mengutip tulisan saya; tapi lupa--atau malas-- menyebut sumbernya. Cuma nakalnya, --kata surat di bawah, -- Abi masih menambah tiga paragraf. Sungguh terlalu dan tidak tau malu.

Saya tidak pernah melarang tulisan saya dikutip. Dan setahu saya banyak juga pemilik website dan blog, yang mengutip tulisan2 saya, dan sejauh ini mereka tetap menyebut sumber tulisan dan nama penulisnya, yaitu saya. Saya tentu ikut senang karena mereka --seperti juga wartawan-- telah ikut menyebarkan informasi.

Artikel Sama, Beda Penulis

SAYA adalah orang yang punya hobi membaca, terutama yang berkaitan dengan anthurium dan aglaonema, walau tidak sebatang anthurium pun tertanam di rumah saya. Saya hanya memiliki beberapa batang aglaonema Dona Carmen mahakarya Greg Hambali.

Kenapa saya sebut mahakarya karena memang aglaonema jenis inilah yang termurah dan yang paling merakyat, tidak pandang pangkat, derajat, golongan, kaya, maupun miskin.

Berkenaan dengan hobi membaca tersebut, saya menemukan artikel Fenomena Anturium pada Tabloid Tumbuh Edisi 7, 5-19 Desember 2007 dengan penulis Saudara Abi. Artikel yang sama telah dimuat pada Tabloid KONTAN Edisi Khusus Oktober-November 2007 dengan judul Mimpi Indah Bersama Anthurium oleh Saudara Junaedhi seperti yang dikutip secara fair pada website Toekang Keboen Nursery dengan menyebutkan penulis dan penerbitnya secara lengkap.

Artikel pada Tabloid Tumbuh tersebut sama persis dengan yang dikutip oleh Toekang Keboen di website-nya dari Tabloid KONTAN, kecuali dengan adanya tambahan tiga paragraf terakhir.

Seandainya Saudara Abi bukan alias dari Saudara Junaedhi, bisa dikatakan Saudara Abi adalah seorang plagiator. Ingat kita sudah memiliki Undang-Undang Hak Cipta, dan pemerintah sekarang ini sedang giat-giatnya melindungi hak cipta intelektual termasuk karya tulis yang dimuat di media massa.

Adalah tidak fair apabila Saudara Abi adalah Saudara Junaedhi sendiri, bila memang betul demikian adanya, seharusnya tulisan pada Tabloid Tumbuh ditambahkan keterangan yang menyatakan bahwa artikel tersebut telah diterbitkan oleh Tabloid KONTAN secara lengkap. Itu baru fair.

Brontho Dwiatmoko,
Tangerang